Thursday 12 October 2017

Pengetahuan, Konten Pornografi, dan Solidaritas Sebagai Faktor Penyebab Pemicu Perilaku Berisiko Terinfeksi HIV/AIDS Pada Remaja

ABSTRAK
HIV / AIDS is a health problem that many suffered by the world community is no exception in Indonesia. HIV / AIDS infection can occur because of risky risk behaviors such as the use of alternating syringes and free sex. This risk behavior can be triggered by three factors, namely lack of knowledge, deviant solidarity, and pornographic content. Based on the age group, adolescents become one of the risk groups, as the age group that becomes the next generation of teenagers must get more attention. The results of this article will show the factors that trigger behavior at risk of HIV / AIDS infection. These factors are knowledge, pornographic content, and solidarity.
Keywords : Knowledge, Pornographic Content, Solidarity

Baca Juga :
ABSTRAK
HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang banyak diderita oleh masyarakat dunia tidak terkecuali di Indonesia. Infeksi HIV/AIDS dapat terjadi karena perilaku berisiko berisiko seperti penggunaan jarum suntik yang bergantian dan seks bebas. Perilaku berisiko ini dapat dipicu oleh tiga faktor, yaitu pengetahuan yang kurang, solidaritas menyimpang, dan konten pornografi. Berdasarkan kelompok umur, remaja menjadi salah satu kelompok berisiko, sebagai kelompok umur yang menjadi generasi penerus tentu remaja harus mendapat perhatian lebih. Hasil penulisan artikel ini akan menunjukkan faktor-faktor pemicu perilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS, faktor-faktor tersebut adalah pengetahuan, konten pornografi, dan solidaritas.
Kata Kunci : Pengetahuan, Konten Pornograpi, Solidaritas

Kunjungi Juga : Program Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak

PENDAHULUAN
AIDS  (Aquired  Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) ( WHO, 2007), ditemukan dalam tubuh terutama darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu Ibu (Indonesian Ministry of Health, 2008).
HIV merupakan jenis virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga orang yang terkena virus ini menjadi rentan terhadap beragam infeksi dan mudah terkena tumor (Depkes, 2008). Pandemi AIDS diperkirakan menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia, UNAIDS memperkirakan bahwa penderita AIDS dinyatakan sebagai wabah mematikan dalam sejarah. Secara global 33,4 sampai dengan 46 juta orang kini hidup dengan HIV/AIDS (Indonesian Ministry of Health, 2008)’(Ernawati, 2003)’(Susilowati, 2008). Pada saat ini data HIV/AIDS di Indonesia jumlahnya semakin meningkat. Pola penularan HIV/AIDS bergeser dari faktor penularan melalui hubungan seks berpindah ke perilaku penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi HIV/AIDS (Nyoman K, 2006).
Faktor-faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan angka kejadian HIV/AIDS antara lain lingkungan sosial ekonomi khususnya kemiskinan, latar belakang kebudayaan/etnis, keadaan demografi (banyaknya pelabuhan yang disinggahi orang asing) (Nyoman K, 2006). Kelompok masyarakat yang berpotensi punya risiko tinggi HIV/AIDS adalah status donor darah (penerima transfusi darah, pendonor darah jika alat tidak steril), bayi dari ibu yang dinyatakan menderita AIDS (proses kehamilan, kelahiran dan pemberian ASI), pecandu narkotik (khususnya IDU, tindik dengan alat yang terpapar HIV/AIDS). Mereka yang mempunyai banyak pasangan seks pramuria (baik di diskotik atau bar, WPS, waria, panti pijat, homo dan heteroseks), pola hubungan seks, status awal berhubungan seks, orang yang terpenjara, keluarga dengan penderita HIV/AIDS positif (pasangan penderita misal suami/istri) yang tidak menggunakan pelindung, pemakai alat suntik (pecinta tatto, tindik dengan alat terpapar HIV/AIDS ) sangat mungkin tertular HIV dan AIDS (Nyoman S, 1990).
Menurut penelitian risiko berdasarkan kelompok umur, remaja menjadi salah satu kelompok paling berisiko terinfeksi HIV/AIDS. Karena pada masa ini remaja mengalami fase perubahan baik fisik maupun mental. Pada masa ini ditandai dengan perubahan fisik seperti munculnya tanda-tanda seks primer dan sekunder serta perubahan kejiwaan meliputi perubahan emosi yang menjadi sensitive dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru. Perubahan perilaku dan kejiwaan tersebut apabila tidak diarahkan tentu dapat berujung pada perilaku-perilaku yang berisiko terinfeksi HIV/AIDS. Perilaku tersebut diantaranya penggunaan jarum suntik secara bergantian dan seks bebas,
Faktor utama yang menyebabkan perilaku berisiko pada remaja antara lain pengetahuan tentang bahaya HIV/AIDS masih kurang, solidaritas diantara remaja, dan konten pornografi, serta faktor pemungkin seperti pengawasan dan perhatian orang tua dan keluarga yang longgar, pola pergaulan bebas, lingkungan permisif, dan fasilitas yang berlebihan dari orang tua.
Remaja memiliki peran besar dalam menentukan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan sebagai generasi penerus bangsa (Nursal, 2008). Untuk itu penulis menaruh perhatian pada remaja sebagai kelompok umur yang berisiko terinfeksi HIV/AIDS. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa pengetahuan, konten pornografi, dan solidaritas sebagai factor pemicu perilaku berisiko terinfeksi  HIV/AIDS pada remaja dengan menggunakan metode kajian pustaka.

PENGETAHUAN DAN PERILAKU BERISIKO HIV/AIDS
    Pengetahuan merupakan hasil “tahu” yang dirangsang melalui penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca  indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman,  rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Soekidjo, Notoadmodjo 2003). Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran) (Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).
Salah satu pengetahuan yang wajib dimiliki remaja adalah pengetahuan tentang perilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS (Ristanti, 2013). Remaja dengan pengetahuan yang relative rendah mempunyai peluang 11,90 kali berperilaku berisiko dibandingan dengan pengetahuan yang relative tinggi (95%CI=4,56-28,61) (Ristanti, 2013). Pengetahuan remaja tentang seks penggunaan jarum suntik dan seks bebas sebagai perilaku berisiko masih sangat rendah, umumnya yang menjawab dengan benar dibawah 50%, hanya mengenai PMS, HIV/AIDS diatas 50%. Hal ini sejalan dengan penilitian Kitting dan Tanjung dan Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia tahun 2002-2003.
Menurut Erfandi (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan, media massa atau informasi, social budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah pula seseorang menerima informasi, sehingga pengeahuan menjadi lebih baik. Semakin majunya teknologi akan tersedia berbagai macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan remaja. Namun informasi yang diterima remaja melalui media massa masih sangat minim sehingga masih rendahnya pengetahuan mengenai perilaku berisiko HIV/AIDS.
Rendahnya pengetahuan remaja dikarenakan kurangnya informasi yang diterima remaja, remaja lebih banyak menerima informasi dari media elektronik seperti televisi. Di televisi informasi hanya sebatas mengenai PMS dan HIV/AIDS sedangkan pengetahuan mengenai bahaya perilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS masih kurang. Adanya anggapan bahwa membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan perilku berisiko HIV/AIDS sebagai hal yang tabu yang menyebabkan pengetahuan yang diterima remaja menjadi setengah-setengah. Menurut Surono (1997) pengetahuan yang setengah-setangah justru lebih berbahaya dari pada tidak tahu sama sekali, tetapi ketidaktahuan juga membahayakan. Pengetahuan tentang penggunaan jarum suntik bergantian dan seks bebas sebagai perilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS yang setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk salah persepsi tapi juga malah menimpulkan rasa ingin mencoba.



KONTEN PORNOGRAFI DAN PERILAKU SEKS BEBAS
Greek word pornographia menyatakan bahwa pornografi adalah tulisan atau gambar yang berbau prostitusi (Larson, 2007). The Council of Europe mendefinisikan pornografi sebagai segala bentuk materi audio visual dalam konteks seksual. International Criminal Police Organisation (INTERPOL) delegates mendefinisikan pornografi sebagai bentuk gambaran dari eksploitasi seksual, yang berfokus pada perilaku seksual atau alat kelamin. Menurut Family English Dictionary karya Collin, pornografi adalah tulisan-tulisan, gambar atau film yang didisain untuk keperluan kepuasan atau kesenangan seksual. Pendapat ini didukung oleh Risman (2007) yang mendedinisikan pornografi meliputi gambar atau tayangan naked/nudity (ketelanjangan), orang yang berbusana tidak pantas/minim, situasi seksual, kissing, touching antar lawan/sejenis, dan humor porno. Risman menambahkan pornografi merupakan hasil dari tindakan pornoaksi, dimana pornoaksi merupakan tindakan melakukan eksploitasi seksual. Menurut Soebagijo (2008) pornografi adalah segala bentuk produk media yang bernuansa seksual atau yang mengeksploitasikan perilaku seksual manusia (Rumyeni; Evawani E, 2013).
    Konten-konten pornografi di masa sekarang tentu sangat mudah diakses mengingangat tingginya perkembangan teknologi yang ada, salah satunya melalui internet (Kirana, Yusad, & Mutiara, 2014). Hasil survey dari Mark Plus Insight Netizen Survei menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 60 juta orang atau sekitar 23,5% dari jumlah penduduk yang ada, dan dari dari data tersebut 40% diantaranya mengakses internet lebih dari 3 jam sehari (Kirana et al., 2014).
    Data dari Pornography Statistic menunjukkan bahwa sebanyak 12% dari jumlah situs yang ada di internet berisi konten pornografi (Kirana et al., 2014). Setiap detiknya ada 28.258 orang melihat situs porno dan dari semua jeni data yang diunduh di internet 35% diantaranya mengandung konten pornografi (Kirana et al., 2014). Data usia mengakes situs porno usia 18-24 tahun sebanyak 13,61%, usia 25-34 tahun sebanyak 19,90%, usia 35-44 tahun sebanyak 25,50%, usia 45-54 tahun sebanyak 20,67%, dan usia 55 tahun keatas sebanyak 20,32%, serta usia rata-rata remaja yang pertama kali mengakses situs porno situs porno adalah 11 tahun (fase remaja awal) (Kirana et al., 2014).
    Hasil penelitian Heserika (2010) pada remaja siswa salah satu SMA swasta di Medan mengatakan bahwa 73% responden telah terpapar hal yang berkaitan dengan seks melalui media elektronik berupa televisi, video, dan internet.(Kirana et al., 2014) Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa usia pertama kali mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pornografi adalah pada usia diatas 13 tahun sebesar 44%. Remaja yang memiliki pengalaman membaca buku porno sebanyak 92,7%, menonton film porno sebanyak 86,2%, melalui video porno 89,1%, dan melalui internet 87,1%.(Kirana et al., 2014)
    Dampak konten pornografi terhadap perilaku remaja adalah terjadinya peniruan yang memperihatinkan (Seminar, Masa, & Siswa, n.d.). Peristiwa dalam konten pornografi memotivasi dan merangsang kaun remaja untuk meniru atau mempraktikkan hal yang dilihatnya (Yutifa, Dewi, & Misrawati, 2015). Dalam hal ini seks bebas menjadi dampak yang dimaksud, serta merupakan perilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS. HIV/AIDS sebagai penyerang sel daeah purih manusia dan menyebabkan penurunan kekebalan tubuh pada penderitanya. Virus-virus tersebut memanfaatkan kesempatan (opportunity) yang diberikan system kekebalan tubuh yang rusak, sehingga menyebabkan infeksi oppotunistik (Murni dkk, 2009, h.10).
    Terkait virus HIV/AIDS yang merupakan dampak dari perilaku seks bebas yang dipicu oleh konten pornografi yang dikosumsi remaja, tentu perlunya pengawasan dan pendampingan dari orang tua dan keluarga sejak dini. Karena konten pornografi akan berbuntut panjang pada seks bebas yang berdampak pada remaja yang terinfeksi HIV/AIDS (Mulya, 2013).

SOLIDARITAS DAN PENGGUNAAN JARUM SUNTIK BERGANTIAN
    Secara etimologi arti solidaritas adalah kesetiakawanan atau kekompakkan. Dalam bahasa Arab berarti tadhamun (ketetapan dalam hubungan) atau takaful (saling menyempurnakan/melindungi). Pendapat lain mengemukakan bahwa Solidaritas adalah kombinasi atau persetujuan dari seluruh elemen atau individu sebagai sebuah kelompok. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa solidaritasdiambil dari kata Solider yang berarti mempunyai atau memperliatkan perasaan bersatu. Dengan demikian, bila dikaitkan dengan kelompok sosial dapat disimpulkan bahwa Solidaritas adalah: rasa kebersamaan dalam suatu kelompok tertentu yang menyangkut tentang kesetiakawanan dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama.
Manfaat yang bisa kita ambil dari rasa solidaritas adalah saling membantu satu sama lain dan rasa peduli untuk teman-teman, biasanya sering di lingkungan kita adalah rasa solidaritas atau rasa kepedulian teman-teman, biasanya pertengkaran sering antara rekan-rekan dan dari Itu di mana kita bisa melihat ada atau tidak rasa solidaritas. Banyak manfaat yang bisa kita ambil dari rasa solidaritas dan kepedulian terhadap orang lain berarti menunjukkan rasa penting nya solidaritas dalam kehidupan manusia di mana solidaritas dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga kekerabatan ke tetangga, teman, atau keluarga sehingga pas untuk menumbuhkan rasa solidaritas dalam diri kita sendiri dan menjaga yang tidak hilang kami juga harus mampu memanfaatkan arti sebenarnya dari solidaritas dengan kami.
Namun disisi lain solidaritas dapat memberikan dampak yang membahayakan terutama pada kelompok remaja yang memiliki perilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS, yaitu menggunakan jarum suntik secara bergantian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Heri Winarwo (2008) didapatkan bahwa 49,4% responden remaja beranggapan penggunaan jarum suntik steril atau sekali pakai tidak akan menurnkan risiko penularan HIV/AIDS (Winarno, Suryoputro, & Shaluhiyah, n.d.). Padahal menurut Depkes (2010) penggunaan jarum suntik bergantian menempati urutan pertama penyebab terjadinya infeksi HIV/AIDS (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
Rasa solidaritas yang tinggi diantara kelompok remaja dikarenakan mereka beranggapan bahwa mereka memiliki tujuan, dan keinginan yang sama serta efek jangka panjang dari narkoba yang mereka gunakan. Jika terjadi kebergantungan narkoba maka bidang yang paling bertanggungjawab adalah psikiatri, karena akan terjadi gangguan mental dan perilaku yang disebebkan zat narkoba mengganggu sinya penghantar syaraf yang disebut dengan sisten neurotransmitter didalam susunan syaraf sentral (otak). Gangguan neurotransmitter ini dapat mengganggu : (1) fungsi kognitif (daya piker dan memori), (2) fungsi afektif (perasaan dan mood), (3) psikomotorik (perilaku dan gerak), (4) komplikasi medic terhadap fisik seperti kelainan lever, paru-paru, ginjal, pancreas, dan gangguan fisik lainnya (Adam, 2012). Kerusakan fungsi kognitif (daya piker dan memori) dan psikomotorik (perilaku dan gerak) yang menyebabkan rasa solidaritas yang salah atau menyimpang pada remaja yang menggunakan jarum suntik secara bergantian. Mereka tidak dapat berpikir bahwa mneggunakan jarum suntik bergantian itu berbahaya, sehingga berperilaku diluar kendali. Sebagai pencandu narkoba yang jika tidak mengkonsumsi dalam periode tertentu dapat menyebabkan rasa tidak tenang, ketakutan, atau sakau. Itulah hal yang ditakuti oleh remaja pengguna narkoba sehingga mereka juga tidak mau teman-teman mereka yang sesama pengguna narkoba merasakan hal tersebut. Penggunaan jarum suntik secara bersamaan menjadi bukti bahwa mereka memiliki tenggang rasa diantara kelompok remaja pengguna narkoba, dalam hal ini tenggang rasa yang dimaksud merupakan hal menyimpang.
Rasa solidaritas yang menyimpang akibat hilangnya fungsi kognitif (daya piker dan memorik) dan fungsi psikomotorik (perilaku dan gerak) sebagai dampak dari penggunaan narkoba menjadi penyebab tingginya penggunaan jarum suntik bergantian sebagai factor risiko terinfeksi HIV/AIDS dikalangan remaja.

KESIMPULAN
Berdasarkan penulisan artikel ini penulis dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan, solidaritas, dan konten pornografi sebagai factor pemicu perilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS di kalangan remaja. Pengetahuan akan bahaya perilaku berisiko HIV/AIDS seperti penggunaan jarum suntik bergantian dan seks bebas dikarena kurangnya informasi yang didapat oleh kalangan remaja terlebih untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan HIV/AIDS, jarum suntik bagi pengguna narkoba, atau bahkan seks bebas masih dianggap tabu bagi orang tua ataupun guru terhadap anak remaja mereka. Kurangnya pengetahuan atau setengah-setengah akan memicu rasa ingin tahu untuk mencoba hal-hal yang berisiko terinfeksi HIV. Semetara, solidaritas menyimpang sebagai akibat dari penggunaan narkoba yang menyebabkan terganggunya fungsi kognitif (pikiran dan memori) dan psikomotorik (perilaku dan gerak) sebagai pemicu prilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS, yaitu mengguanakan jarum suntik bergantian. Lain halnya konten pornografi dapat merangsang keingginan remaja untuk perilaku berisiko terinfeksi HIV/AIDS, yaitu seks bebas.

DAFTAR PUSTAKA
Adam, S. (2012). Dampak Narkotika pada Psikologi dan Kesehatan Masyarakat. Jurnal Health and Sport, 5(2). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Depkes. (2008). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Appetite, 4(3), 654–661. https://doi.org/10.1016/j.jand.2013.10.013
Ernawati, A. (2003). Sanitasi Lingkungan, Tingkat Konsumsi, dan Infeksi Dengan Status Gizi Anak Usia 2-5 Tahun Di Kabupaten Semarang Tahun 2003. Universitas Diponogore, (September 2006), 1–99.
Indonesian Ministry of Health. (2008). Indonesian Health Profile The Year 2007 (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007). Kementerian Kesehatan RI, 327. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Kementrian Kesehatan RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia 2010.
Kirana, U., Yusad, Y., & Mutiara, E. (2014). Pengaruh Akses Situs Porno dan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Remaja di SMA Yayasan Perguruan Kesatria Medan Tahun 2014. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, 1–8. https://doi.org/10.1557/opl.2012.
Mulya, Y. A. (2013). Seks Bebas Duduki Peringkat Pertama Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. (Wahyu Riska, Ed.) (Vol. 2). Retrieved from http://psikologi.uin-malang.ac.id
Nursal, D. G. A. (2008). Faktor-fakor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Murid SMU Negeri Di Kota Padang Tahun 2007, (September 2000), 175–180.
Nyoman K. (2006). Epidemi Penyakit HIV/AIDS. Jakarta: Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Nyoman S. (1990). Epidemiologi AIDS Standarisasi Diagnostik dan Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ristanti, D. (2013). Tingkat pengetahuan remaja tentang hiv/aids pada siswa kelas xi di sma negeri 1 bulu sukoharjo tahun 2013 karya tulis ilmiah.
Rumyeni; Evawani E. (2013). Remaja dan Pornografi: Paparan Pornografi dan Media Massa dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Siswa Pasa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 25 Kota Pekanbaru, 1(1).
Seminar, S., Masa, D., & Siswa, O. (n.d.). Bahaya Seks Pada Remaja, 0–7.
Susilowati, T. (2008). Faktor –Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian HIV dan AIDS Di Semarang Dan Sekitarnya, 16.
Winarno, H., Suryoputro, A., & Shaluhiyah, Z. (n.d.). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Jarum Suntik Bergantian Diantara Pengguna Napza Suntik Di Kota Semarang.
Yutifa, H., Dewi, A. P., & Misrawati. (2015). Hubungan Paparan Pornografi Melalui Elektronik Terhadap Perilaku Seksual Remaja. Jom, 2(2).

0 komentar:

Post a Comment