Thursday 12 October 2017

Perilaku, Psikologis, dan Genetik Sebagai Faktor Penyebab Obesitas Pada Remaja

ABSTRAK

Obesity is a health problem that often occurs in adolescents. Obesity is the root of all degenerative diseases that can occur in adolescents as they grow older. Obesity in adolescents is likely to occur because at this time of change and adolescents experiencing physical and psychological development. Physical and psychological changes that causes lifestyle changes in adolescents as a pattern of overeating that lead to obesity. The results of the writing of this article is intended to show the factors that cause obesity in adolescents. Factors in question are behavioral, psychological, and genetic.

Keywords : Obesity, Behavior, Psychological, Genetic


ABSTRAK

Obesitas merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada remaja. Obesitas merupakan akar dari segala penyakit degeneratif yang dapat terjadi pada remaja saat mereka dewasa. Obesitas pada remaja sangat mungkin terjadi karena pada masa ini remaja mengalami perubahan dan perkembangan fisik dan psikologis. Perubahan fisik dan psikologis inilah yang memicu perubahan gaya hidup pada remaja seperti pola makan berlebih yang berujung pada obesitas. Hasil dari penulisan artikel ini dimaksudkan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab terjadinya obesitas pada remaja. Faktor yang dimaksud adalah perilaku, psikologis, dan genetik.
 
Kata Kunci : Obesitas, Perilaku, Psikologis, Genetik


PENDAHULUAN

Masalah gizi di Indonesia saat ini memasuki masalah gizi ganda. Artinya, masalah gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya, sementara sudah muncul masalah gizi lebih. Kelebihan gizi yang menimbulkan obesitas dapat terjadi baik pada anak-anak, remaja, hingga usia dewasa (Sartika, 2011).

Obesitas merupakan keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak yang berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai jenis kelaminnya. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, kejadian obesitas meningkat 2 (dua) kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan remaja usia 12-19 tahun, bahkan meningkat tiga (3) kali lipat pada anak usia 6-11 tahun (Depkes, 2008). Di Indonesia, prevalensi obesitas pada anak yang memasuki usia remaja (10-18 tahun) tahun meningkat dari 5% tahun 1990 menjadi 16% tahun 2001 (Sartika, 2011).

Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus (positive energy balance) dalam jangka waktu cukup lama, maka dampaknya adalah terjadinya obesitas (Wijayanti, 2013).

Beberapa faktor penyebab obesitas pada remaja antara lain perilaku asupan makanan berlebih dan aktivitas fisik yang kurang, factor psikologis, dan factor genetik (keturunan). Faktor perilaku dapat berupa perilaku asupan makanan dan aktivitas fisik, perilaku asupan makanan yang berlebih dapat menyebabkan penimbunan energy berupa lemak di dalam tubuh yang menyebabkan obesitas.  Faktor perilaku lainnya yang menyebabkan obesitas adalah kurangnya aktivitas fisik baik kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur. Aktivitas fisik yang dilakukan sejak masa anak, remaja, hingga lansia akan mempengaruhi kesehatan seumur hidup (Rusli & Darmadi, 2012). Obesitas pada usia remaja akan meningkatkan risiko obesitas pada saat dewasa (Sartika, 2011). Sementara, psikologis juga menjadi factor penyebab terjadinya obesitas, salah satunya stress, stress dapat mendukung kejadian obesitas yang disebabkan oleh perilaku dan metabolism (Widiantini, W., 2014).

Penyebab obesitas dinilai sebagai ‘multikausal’ dan sangat multidimensional karena tidak hanya terjadi pada golongan sosio-ekonomi tinggi, tetapi juga sering terdapat pada sosio-ekonomi menengah hingga menengah ke bawah. Obesitas dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan dengan faktor genetic. Namun, jika obesitas terjadi pada anak sebelum usia 5-7 tahun dan status gizinya masih berlebih hingga memasuki usia remaja (10-18 tahun), maka risiko obesitas dapat terjadi pada saat tumbuh dewasa. Remaja yang obesitas biasanya berasal dari keluarga yang juga obesitas, dalam hal ini disebut factor genetik (keturunan) (Budiyanti, 2010).

Prevalensi obesitas remaja (10-18 tahun) mengalami peningkatan di berbagai negara tidak terkecuali Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Tingginya prevalensi obesitas remaja disebabkan oleh pertumbuhan urbanisasi dan perubahan gaya hidup seseorang termasuk asupan energi. Menurut WHO, satu dari 10 (sepuluh) remaja di dunia mengalami kegemukan. Peningkatan obesitas pada remaja sejajar dengan orang dewasa. Prevalensi yang cenderung meningkat baik pada remaja maupun orang dewasa sudah merupakan peringatan bagi pemerintah dan masyarakat bahwa obesitas dan segala implikasinya memerlukan perhatian khusus. Karena tanpa disadari, obesitas merupakan akar dari permasalahan penyakit degenerative yang dapat terjadi saat remaja telah memasuki usia dewasa.

Penulisan artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa perilaku, psikologis, dan genetik sebagai factor penyebab obesitas pada remaja remaja (10-18 tahun). Penulisan artikel ini merupakan analisis terhadap data Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lingbangkes), Departemen Kesehatan RI serta sejumlah artikel terkait sesuai dengan metode kajian pustaka.


PERILAKU SEBAGAI FAKTOR PENYEBAB OBESITAS PADA REMAJA

Obesitas pada remaja dapat terjadi karena berbagai perilaku tidak sehat, seperti asupan makanan berlebih, dan kurangnya aktivitas fisik. Asupan makanan berlebih atau frekuensi makan yang lebih dari 3 kali dalam sehari dapat menyebabkan timbunan energy dalam bentuk lemak dalam tubuh. Frekuensi makan adalah tindakan mengkonsumsi sejumlah makanan selama periode tertentu, seperti harian, mingguan, atau bulanan (Supriasa, 2002). Frekuensi makan makanan cepat saji (fast food) contohnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muwakhidah dan Dian Tri H (2008) rata-rata ferkuensi fast food adalah sebanyak 27,18 kali dalam sebulan dengan batas maksimum sebanyak 52 kali dan minimum 5 kali. Dari hasil penelitian Muwakidah dan Dian Tri H (2008) juga di dapatkan hasil 65% dari total responden yang mengkonsumsi fast food diatas rata-rata mengalami obesitas (H, 2006)

.    Banyaknya remaja yang mengkonsumsi fast food pada saat ini karena remaja lebih memilih makanan yang tidak membuthkan waktu yang lama untuk diolah. Fast Food banyak ditemukan di kafe, restoran, maupun kantin sekolah yang identik dengan porsi besar dan kandungan natrium yang tinggi. Kebiasaan makanan inilah yang berkontribusi terhadap kejadian obesitas (Kussoy, Fatimawali, & Kepel, 2013). Hal ini juga di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Weni Kurdanti, dkk (2015) yang mengatakan bahwa remaja yang memilki frekuensi konsumsi fast food yang semakin sering memiliki risiko 2,47 kali dari pada remaja yang jarang mengkonsumsi fast food (kurang dari 4 kali dalam sebulan) (Kurdanti et al., 2015).

Jumlah energy yang masuk harus sesuai dengan jumlah energy yang keluar agar obesitas pada remaja tidak terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas fisik seperti berolahraga, tapi sayangnya pada masa sekarang ini dengan kemajuan teknologi remaja menjadi malas beraktivitas. Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energy seseorang dengan berat normal, namun bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting.

Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang. Kalori secara tidak langsung mempengaruhi system metabolism basal, Remaja yang duduk diam tanpa aktivitas fisik akan mengalami penurunan metabolism basal pada tubuhnya. Kekurangan aktivitas fisik akan menyebaban suatu siklus yang hebat, obesitas membuat olahraga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olahraga secara tidak langsung mempengaruhi penurunan metabolism basal pada orang tersebut. Jadi aktivitas fisik seperti berolahraga sangat berguna untuk menjaga berat badan yang ideal karena dapat membakar kalori dan sebaliknya kurangnya aktivitas fisik dapat menimbulkan kalori berlebih dalam tubuh yang dapat menyebabkan obesitas.(Agus Supriyanto, 2014)

    Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh  Ratu Afrienny C.H, dkk (2014) di terhadap siswa/I di SMA Negeri 34 Medan yang mengatakan bahwa kejadian obesitas pada siswa/i dengan aktivitas fisik yang kurang memiliki risiko 1,70 kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan dengan siswa/i yang memiliki aktivitas fisik sedang. Kejadian obesitas pada siswa/i yang meiliki aktivitas fisik sedang memilki risiko 1,50 kali lebih besar bila dibandingkan dengan siswa/i yang memilki aktivitas fisik berat (Aftienny C.H, Rahayu, & Hiswani, 2014).

    Sebagian besar energy yang masuk melalui makanan pada remaja seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kekurangan aktivitas fisik menyebabkan banyak energy yang tersimpan dalam bentuk lemak, sehingga remaja yang kurang beraktivitas fisik memiliki kecenderungan mengalami obesitas (Suryaputra & Nadhiroh, 2012).


PSIKOLOGIS SEBAGAI FAKTOR PENYEBAB OBESITAS PADA REMAJA

    Walaupun tidak menyebabkan secara langsung, tanpa disadari keadaan psikologis seorang remaja juga dapat menyebabkan obesitas. Keadaan psikologis dapat berupa stress, tekanan emosional, ataupun depresi. Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa obesitas bermula dari masalah emosional yang tidak dapat teratasi. Seperti seorang remaja yang memiliki makan dianggap seperti kasih sayang seorang dan sebaliknya yang tidak memiliki makanan dianggap tidak mendapat kasih sayang, atau kelebihan makan dianggap sebagai sebagai substitusi untuk kepuasan lain yang tidak tercapai dalam hidup seseorang (Agus Supriyanto, 2014). Walaupun penjelasan demikian tidak cocok dengan kasus tertentu, namun pada kelompok remaja (10-18 tahun) kasus ini dapat ditemukan.

    Pada masa remaja terjadi perubahan fisik dengan timbulnya tanda-tanda seks primer dan sekunder, yang diikuti dengan perubahan psikologis dan emosional menjadi sensitive. Perubahan psikologis inilah yang menjadi factor penyebab obesitas. Remaja dapat dengan mudah mengalami tekanan emosional dan stress. Hal-hal yang menyebabkan tekanan emosional dan stress pada remaja biasanya berhubungan dengan kegiatan mereka di sekolah atau pergaulan di lingkungan sosialnya.

    Stres dan tekanan emosional dapat mendukung kejadian obesitas yang disebabkan oleh perilaku dan metabolism (Widiantini, W., 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Intan (2013) menunjukkan bahwa 45% dari 71 orang responden (11-19 tahun) (Hidayat & Syam, 2013). Obesitas cnderung mulai terjadi pada fase remaja awal (10-13 tahun), sehingga semakin cepat seorang remaja mengalami perubahan psikologi serta mengalami stress dan tekanan emosional maka semakin besar pula kemungkinan seorang remaja mengalami obesitas.

    Stres dapat mengendalikan hormone tertentu pada tubuh kita yaitu hormone kortisol untuk merangsang kita memakan makanan yang manis dan berlemak, dengan kehadiran hormone tersebut membuat diri remaja tanpa sadar tidak memperhatikan asupan kalori yang di konsumsi. Oleh karena itu terjadi suatu peningkatan massa jaringan lemak tubuh yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara asupan energy dengan keluaran energy (Hidayat & Syam, 2013).

    Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saifuddin juga mengatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara gejala stress dengan kejadian obesitas, sedangkan menurut Sugianti menyatakan bahwa terjadi hubungan nyata positif antara kondisi mental emosional dengan kejadian obesitas. Hal ini disebabkan karena orang yang mengalami gejala stress cenderung mengkonsumsi makanan dalam porsi yang berlebih akibat adanya hormone kortisol yang mengendalikan tubuh kita agar terus makan (Hidayat & Syam, 2013).

    Tingkat stress yang dialami remaja berbeda-beda, semakin tinggi tingkat stress yang dialami maka semakin mungkin seorang remaja mengalami obesitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Uswatun yang mengatakan bahwa 40% remaja mengalami obesitas mengalami stress berat, 15% mengalami stress ringan, dan 11% stress sedang (dkk, 2013). Terjadinya peningkatan stress pada remaja dijelaskan oleh Qureshi yang mengatakan bahwa adanya perubahan gaya hidup pada remaja selama periode ujian seperti kekurangan tidur, dan pola makan yang berubah yang disebabkan factor rasa takut menghadi ujian yang pada akhirnya menimbulkan stress berat pada remaja.

    Untuk itu remaja perlu mengendalikan stress dan tekanan emosional, remaja seharusnya mengisi waktu dengan kegiatan positif, seperti kegiatan keagamaan ataupun melakukan kegiatan-kegiatan yang disukai seperti hobi. Perubahan psikologis seperti stress dan emosional yang tidak dapat di kendalikan dapat menyebabkan perubahan perilaku tanpa disadari remaja yang disebabkan oleh hormone kortisol yang merangsang remaja untuk memakan makanan yang manis dan berlemak yang berujung pada obesitas pada remaja.


GENETIK SEBAGAI FAKTOR PENYEBAB OBESITAS PADA REMAJA

    Faktor lain yang dapat menyebabkan obesitas adalah genetic, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Weni Kurdanti, dkk (2015) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki ayah dan ibu dengan status obesitas berisiko lebih besar dibandingkan remaja yang memiliki ayah dan ibu tidak obesitas (Kurdanti et al., 2015). Berdasarkan penelitian tersebut juga ditemukan bahwa orang tua mempengaruhi pola makan remaja dan gaya hidup yang sama dalam keluarga. Keluarga mewariskan kegiatan pola makan dan gaya hidup yang bisa berkontribusi pada kejadian obesitas.

    Faktor genetic berhubungan dengan pertambahan berat badan, IMT, lingkat pinggang, dan aktivitas fisik. Jika ayah dan ibu menderita berat badan berlebih maka anaknya memiliki kemungkinan kelebihan berat badan 40-50%. Apabila kedua orang tua mengalami obesitas kemungkinan anaknya mengalami obesitas sebesar 70-80%. Faktor genetic sangat berperan dalam peningkatan berat badan. Studi genetic terbaru telang mengidentifikasi adanya mutasi gen yang mendasari obesitas. Terdapat sejumlah gen pada manusia yang diyakini mempengaruhi berat badan dan adipositas (Kurdanti et al., 2015).

    Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratu Ayu (2011) menyatakan bahwa remaja yang meiliki orang tua obesitas memilki peluang obesitas sebesar 1,2 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang memiliki orang tua tidak obesitas.(Sartika, 2011) Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian lain yang dilakukan oleh Budiyanti (2010), dalam tesisnya tertulis data remaja yang memiliki ayah dengan status overweight dan obesitas sebesar 43,3% dan 12,2% mengalami obesitas, serta remaja yang memiliki ibu dengan status overweight dan obesitas sebesar 42,7% dan 24,2% mengalami obesitas (Budiyanti, 2010).

    Faktor genetic juga merupakan salah satu factor yang dapat menyebabkan obesitas. Telah diamati bahwa remaja yang mengalami obesitas juga berasalah dari keluarga dengan orang tua obesitas. Bila salah satu orang tua obesitas, kira-kira 40-50% anaknya akan mengalami obesitas, sedangkan apabila kedua orang tua mengalami obesitas, 80% anaknya akan mengalami obesitas.

    Obesitas dapat diturnkan dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya didalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali melihat orang tua yang gemuk cenderung meiliki anak yang gemuk pula. Dalam hal ini nampak factor genetic telah ikut campur dalam menentukan jumlah sel lemak dalam tubuh. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsure lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama proses kehamilan (Agus Supriyanto, 2014).


KESIMPULAN

    Perilaku, psikologis, dan genetic sebagai factor penyebab terjadinya obesitas pada remaja. Perilaku yang diamksud dapat berupa asupan makanan yang berlebih dan terlalu sering memakan makan cepat saji atau fast food. Semetara factor psikologis seperti stress dan tekanan emosional dapat memicu hormone kortisol yang merangsang remaja untuk mengkonsumsi makanan manis dan berlemak. Kemudian, factor genetic dapat menyebabkan obesitas karena gen yang membawa unsure lemak pada remaja berasal dari orang tua yang mengalami obesitas.


DAFTAR PUSTAKA

Aftienny C.H, R., Rahayu, & Hiswani. (2014). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Obesitas pada Siswa/i Kelas VII dan VIII di SMP Negeri 34 Medan Tahun 2014, (2000).

Agus Supriyanto. (2014). Obesitas, Faktor Penyebab dan Bentuk-bentuk Terapinya. Igarss 2014, (1), 1–13. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Budiyanti. (2010). Analisis Faktor-faktor Penyebab Obesitas Pada Anak Usia Sekolah di SD Islam Al-Azhar 14 Kota Semarang.

Depkes. (2008). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Appetite, 4(3), 654–661. https://doi.org/10.1016/j.jand.2013.10.013

dkk, U. A. (2013). Hubungan Stress Terhadap Gaya Hidup Remaja Obesitas di Kota Malang. Malang: Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

H, M. D. T. (2006). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Obesitas Pada Remaja, 133–140.

Hidayat, N. I., & Syam, A. (2013). Gambaran Tingkat Stres dan Antioksidan Pada Penderita Overweight dan Obesitas Mahasiswa Angkatan 2013, 1–13.

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. https://doi.org/351.770.212 Ind P

Kurdanti, W., Suryani, I., Syamsiatun, N. H., Siwi, L. P., Adityanti, M. M., Mustikaningsih, D., & Sholihah, K. I. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 11(4), 179–190.

Kussoy, K., Fatimawali, & Kepel, B. (2013). Prevalensi Obesitas pada Remaja di Kabupaten Minahasa. Jurnal E-Biomedik (eBM), 1(Nomor 2, Juli 2013), 981–985.

Rusli, R. H., & Darmadi. (2012). Analisis Regresi Logistik untuk Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Remaja. Majalah Kedokteran Andalas, 36(1), 63–72.

Sartika, R. A. D. (2011). Faktor Risiko Obesitas pada Anak 5-15 Tahun di Indonesia. Makara, Kesehatan, 15(1), 37–43. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0039007

Supriasa, I. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: ECG.

Suryaputra, K., & Nadhiroh, S. R. (2012). Perbedaan Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Antara Remaja Obesitas Dengan Non Obesitas. Makara, Kesehatan, 16(1), 45–50. Retrieved from http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/view/1301

Widiantini, W., Z. T. (2014). Aktifitas Fisik, Stres, Dan Obesitas Pada Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8(7), 329–336.

Wijayanti, D. N. (2013). Analisis Faktor Penyebab Obesitas dan Cara Mengatasi Obesitas pada Remaja Putri. Skripsi, 13.

0 komentar:

Post a Comment