Thursday, 12 October 2017

Infeksi Penyakit Malaria, Diare, dan Tifus Sebagai Faktor Penyebab Terjadinya Gizi Buruk Pada Anak Balita

ABSTRAK
Malnutrition in children under five is still a health problem in the world even in Indonesia. Data from the Ministry of Health of the Republic of Indonesia show more than 3.8 million children under five suffer from malnutrition. The state of malnutrition can increase the risk of infectious diseases due to decreased immune system. Conversely, infectious diseases can also affect the nutritional status of children under five due to decreased food intake, malabsorption, and increased body catabolism. Infectious diseases that can cause malnutrition, malaria, diarrhea and typhoid. Writing article is intended to show the infection of the disease as a factor causing malnutrition in children under five. Infectious diseases that can cause malnutrition in children under five are malaria, diarrhea, and typhoid.
Keywords : Malnutrition, Malaria, Diarrhea, Typhoid

ABSTRAK
Gizi buruk pada anak balita masih menjadi masalah kesehatan di dunia bahkan di Indonesia. Data Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan lebih dari 3,8 juta anak balita mengalami gizi buruk. Keadaan gizi buruk dapat meningkatkan risiko infeksi penyakit karena daya tahan tubuh yang menurun. Sebaliknya, penyakit infeksi juga dapat mempengaruhi status gizi anak balita karena asupan makan menurun, malabsorpsi, dan katabolisme tubuh meningkat. Infeksi penyakit yang dapat menyebabkan gizi buruk diantaranya, malaria, diare, dan tifus. Penulisan artikel dimaksudkan untuk menunjukkan infeksi penyakit sebagai faktor penyebab terjadinya gizi buruk pada anak balita. Infeksi penyakit yang dapat menyebabkan gizi buruk pada anak balita adalah malaria, diare, dan tifus.
Kata Kunci : Gizi Buruk, Malaria, Diare, Tifus

PENDAHULUAN
Gizi buruk adalah suatu keadaaan kurang gizi pada tingkat berat badan pada anak balita berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < -3 standar deviasi WHO-NCHS dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor (Depkes, 2008). Namun, pengertian yang umum digunakan selama ini terkait gizi buruk diantaranya, gizi buruk merupakan salah satu klasifikasi status gizi berdasarkan pengukuran antropometri (Rosalind Gibson, 2005). Sedangkan pengertian status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel-variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan dan panjang tungkai. Sebaliknya ketidakseimbangan dari variable-varibel tersebut dapat menyebabkan masalah gizi.
Masalah gizi merupakan masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat di Indonesia terutama pada anak balita. Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta anak balita yang terancam gizi buruk yang keberadaannya tersebar dipelosok-pelosok wilayah Indonesia. Jumlah anak balita di Indonesia menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2012 berdiri di angka 31,8 juta jiwa (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2015 Pemantauan Status Gizi (PSG) menyebut 3,8% anak balita mengalami gizi buruk. Status gizi anak balita menurut Indeks Berat Badan per Usia (BB/U), didapatkan hasil 79,7% gizi baik; 14,9% gizi kurang; 3,8% gizi buruk; dan 1,5% gizi lebih (Kemenkes, 2016). Gizi buruk sangat mungkin terjadi pada anak balita yang merupakan kelompok umur yang sangat rentan terhadap gangguan gizi yang mana akan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan balita.
Status gizi anak balita dipengaruhi beberapa factor yang dibedakan menjadi factor langsung, faktor tidak langsung, dan factor dasar (Soekirman, 2000). Faktor langsung dapat berupa asupan gizi dan infeksi penyakit. Asupan zat gizi yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak balita yaitu zat besi, karbohidrat, dan protein. Sementara infeksi penyakit yang dapat menyebabkan gizi buruk yaitu malaria, diare dan tifus. Faktor tidak langsung yang sering terjadi diantaranya pelayanan kesehatan dan lingkungan, perilaku/asuhan ibu dan anak, dan ketersediaan pangan tiap rumah tangga. Penyebab mendasar/akar masalah gizi buruk adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketersediaan pangan, pola asuh dalam keluarga dan pelayanan kesehatan serta sanitasi yang memadai.
Infeksi penyakit sebagai salah satu factor langsung terjadinya gizi buruk sering tidak disadari oleh orangtua yang meiliki anak balita, Mereka beranggapan bahwa dengan memberikan makanan yang cukup kepada anak balitanya sudah dapat menjamin kecukupan gizi anak balita mereka. Padahal infeksi penyakit seperti malaria, diare, dan tifus dapat menyebabkan gizi buruk pada anak balita.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa infeksi penyakit malaria, diare, dan tifus sebagai factor penyebab terjadinya gizi buruk pada anak balita.
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi pustaka dengan mengedepankan data-data Riskesdas Kemenkes serta jurnal-jurnal terkait sebagai referensi penulisan.

INFEKSI PENYAKIT SEBAGAI PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA
Infeksi penyakit merupakan keadaan dimana adanya suatu organisme pada jaringan tubuh yang disertai dengan gejala klinis baik itu bersifat lokal maupun sistemik seperti demam atau panas sebagai suatu reaksi tubuh terhadap organisme tersebut. Secara definisi, infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing (luar) terhadap organisme inang (tubuh), dan bersifat pilang yaitu membahayakan inang. Organisme penginfeksi, atau patogen, menggunakan sumberdaya (sarana) yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri yang pada akhirnya merugikan inang. Dalam hal ini infeksi penyakit pada anak balita sebagai inang organisme penginfeksi dapat menyebabkan hilangnya asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Infeksi penyakit dan kurangnya asupan nutrisi mempunyai hubungan timbal balik, anak balita yang kurang asupan nutrisinya akan menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terinfeksi penyakit. Sebaliknya infeksi penyakit dapat memperburuk status gizi anak balita (Pudjiadi, 1996). Anak balita yang meiliki penyakit infeksi akan memnyebabkan menurunnya kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi zat-zat yang dibutuhkan tubuh untuk perbaikan jaringan yang rusak, membentuk sel-sel baru dan sebagai sumber energy tidak tersedia secara adekuat. Terlebih anak balita pada umumnya masih memiliki daya tahan tubuh yang rentan karena masih dalam fase pertumbuhan dan perkembangan Dampak lain dari infeksi penyakit adalah penggunaan energy berlebih dari tubuh untuk mengatasi penyakit bukan untuk pertumbuhan dan perkembangan, sehingga akan menggangu pertumbuhan dan perkembangan anak balita.
Banyak infeksi penyakit yang dapat menyebabkan gizi buruk pada anak balita, namun infeksi penyakit yang sering ditemukan adalah malaria, diare dan tifus. Ketiga infeksi memiliki hubungan timbal baik yang hampir sama dengan terjadinya gizi buruk. Bahaya akhir dari infeksi penyakit malaria, diare, dan tifus adalah kematian.

MALARIA SEBAGAI PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA
Istilah “malaria” yang diperkenalkan oleh Dr. Francisco Totti yang dalam perkataan Italia berarti “udara kotor”. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bernama Plasmodium. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi parasit tersebut. Di dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian menginfeksi sel darah merah yang akhirnya menyebabkan penderita mengalami gejala-gejala malaria seperti gejala pada penderita influenza, bila tidak diobati maka akan semakin parah dan dapat terjadi komplikasi yang berujung pada kematian (Saikhu, 2007).
Malaria menjadi salah satu penyakit yang dapat menyebabkan gizi buruk pada anak balita, hal ini dikarenakan malaria dapat menyebabkan anemia atau defisiensi besi pada anak balita. Malaria dapat menyebabkan kerusakan erytrosit yang menyebabkan anemia, hal ini di perkuat oleh hasil penelitian (Handayani, 2008).
Anemia defisiensi besi terjadi akibat cadangan zat besi dalam tubuh yang kurang. Cadangan zat besi yang kurang dalam tubuh menyebabkan proses erytropoiesis terganggu, sehingga pembentukan hemoglobin juga terganggu (Ernawati, 2003). Anemia merupakan salah satu komplikasi yang terjadi terutama pada penderita dengan infeksi malaria berat di wilayah endemis malaria (Restuti & Susindra, 2016). Anemia adalah salah satu dampak infeksi berulang yang selain menimbulkan malnutrisi, pembesaran limfa, dan tubuh lese atau debilitasi (Restuti & Susindra, 2016). Anemia akibat infeksi malaria juga dapat menyebabkan terganggunya proses pembentukan enzim-enzim yang berguna untuk proses pencernaan yang pada akhirnya dapat menyebabkan gizi buruk pada anak balita (Limanto, 2010).
    Dampak infeksi malaria pada anak balita khususnya dibawah lima tahun, yaitu dapat menimbulkan status gizi buruk pada anak balita (Ira Indriaty, 2015). Penelitian di Nigeria menemukan bahwa adanya pengaruh malaria falciparum akut terhadap perubahan berat badan anak balita dan mempengaruhi pertumbuhan anak balita. Penelitian yang dilakukan di Linggasari, Banjarnegara juga menemukan terjadinya penurunan berat badan pada anak balita pada saat insiden malaria tinggi (W, 2011). Penelitian lainnya di Kabupaten Sikka menemukan adanya hubungan antara malaria falciparum pada anak balita dengan status gizi kurang (Limanto, 2010).
    Infeksi malaria dapat menyebabkan hipoglikemia pada anak balita sebagai salah satu factor risiko gizi buruk, dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala yang lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin, dan lembab (Hakimi, Deliana. M, & Lubis, 2010). Hipoglikomia berat pada anak balita adalah keadaan dimana kadar glukosa dalam darah turun menjadi 40 mg/dL atau bahkan lebih rendah (Hakimi et al., 2010). Kekurangan glukosa pada anak balita dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak balita (Hardinsyah & Aries, 2012). Pada penderita hipoglikomia berat dapat menyebabkan kurangnya pasokan glukosa ke otak yang menyebabkan gangguan penglihatan, sulit berkonsentrasi, kejang, dan bahkan dapat menyebabkan koma (Hardinsyah & Aries, 2012). Hipoglikomia yang berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan otak pada penderita (Hardinsyah & Aries, 2012).
DIARE SEBAGAI PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cairan, dengan kandungan air pada tinja lebih banyak dari keadaan normal yakni 100-200 ml sekali defekasi (Hendarwato, 1997). Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997). Diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga  kali atau lebih dalam sehari (R.I, 2005).
Infeksi diare dapat menyebakan gizi buruk karena menurunnya penyerapan nutrisi, penurunan asupan makanan, peningkatan kebutuhan metabolic, dan hilangnya nutrisi langsung. Gizi buruk telah lama diketahui memiliki hubungan timbal balik dengan diare, diare dapat menyebabkan gizi buruk sebaliknya gizi buruk dapat menyebabkan diare (Astya Palupi, 2009).
Ada 2 masalah yang berbahaya dari diare, yaitu kematian dan malnutrisi. Diare dapat menyebabkan malnutrisi atau gizi buruk dan yang lebih buruk lagi diare dapat menyebabkan tubuh anak balita kehilangan nutrien, karena diare pada anak balita dapat menyebabkan rasa tidak lapar sehingga seorang ibu tanpa sadar tidak memberi makan pada anak balitanya dalam keadaan perut yang kosong (WHO, 2005).
Rata-rata frekuensi diare pada anak balita adalah 1 kali dalam sebulan, dengan rata-rata durasi diare adalah 3 hari. Penelitian Nurcahyo dkk (2010) pada balita usia 12-59 bulan di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa semakin sering frekuensi diare maka status gizi anak balita menurut BB/U akan semakin buruk (Briawan D, 2010). Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatimah (2008) yang memperlihatkan bahwa semua anak balita dengan gizi buruk memiliki riwayat penyakit infeksi seperti diare berulang, ISPA berulang, dan tuberculosis (Fatimah S; dkk, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Astya Palupi di RSUP Sardjito Yogyakarta (2009) mendapatkan adanya hubungan antara lamanya kejadian diare dengan status gizi balita menurut BB/U (Astya Palupi, 2009).
Sebagian besar ibu juga melakukan tindakan yang cepat dalam menanggulangi diare dengan membawa anak balitanya berobat ke tempat pelayanan kesehatan seperti bidan/dokter (75,7%) dan memberikan oralit/cairan rumah tangga (5,4%). Tindakan tersebut akan memperkecil terjadinya gangguan keseimbangan elektrolit pada anak balita karena prinsip utama dalam pengobatan diare akut adalah rehidrasi (Rosari, Rini, & Masrul, 2013). Frekuensi diare yang jarang, durasi diare singkat, serta pemberian tindakan penanggulangan yang tepat dapat menurunkan risiko terjadinya gizi buruk pada anak balita (Rosari et al., 2013).

TIFUS SEBAGAI PENYEBAB GIZI BURUK PADA ANAK BALITA
Tifus (Typhoid) adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. Sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis (Noer, 2006). Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Paputungan, Rombot, & Akili, 2016). Berdasarkan dua pendapat diatas dapat disimpulkan, typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
    Infeksi penyakit tifus dapat menyebabkan gizi buruk pada anak balita, hal ini dikarenakan salmonella typhosa yang menempel pada dinding usus mengakibatkan terganggunya proses pencernaan makanan sehingga nutrisi tidak terserap secara optimal. Pada infeksi tifus yang berkepanjangan bahkan dapat menyebabkan usus berlubang. Gejala yang ditimbulkan dari efek ini antara lain, mual-mual, sakit perut berkepanjangan, dan sering muntah-muntah. Umumnya gejala akan timbul pada minggu ke-3 jika penyakit tidak diobati.
Penyebab lain terjadinya gizi buruk pada anak balita yang terinfeksi tifus adalah anemia, hal ini terjadi karena pendarahan glastrointestial (pendarahan saluran cerna). Perdarahan saluran cerna adalah suatu perdarahan yang bisa terjadi dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa di temukannya darah dalam tinja atau muntuh darah, tetapi gejala bisa juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu. Perdarahan yang terjadi di saluran cerna bila di sebabkan oleh adanya erosi arteri akan mengeluarkan darah lebih banyak dan tidak dapat di hentikan dengan penatalaksanaan medis saja. Akibat dari pendarahan yang terus menerus pada saluran cerna dapat menurunkan kadar hemoglobin pada darah. Terlebih pendarahan yang terjadi pada saluran pencernaan seperti usus dapat menghambat proses metabolisme dan penyerapan nutrisi pada makanan sehingga status gizi anak balita menjadi menurun yang berujung pada gizi buruk.


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penulisan artikel dengan metode studi pustaka, penulis dapat menyiimpulkan bahwa infeksi penyakit malaria, diare, dan tifus sebagai factor penyebab terjadinya gizi buruk pada anak balita. Malaria dapat menyebabkan gizi buruk karena terjadinya erytropoiesis yang berujung pada terjadinya anemia pada anak balita. Lain halnya dengan diare, terjadinya gizi buruk pada anak balita yang terinfeksi diare dikarenakan terhambatnya proses pembentukan enzim-enzim yang berguna untuk proses penernaan sehingga nutrisi yang diserap tidak adekuat. Sementara, terjadinya gizi buruk pada anak balita yang terinfeksi tifus disebabkan oleh pendarahan glastrointestial disepanjang saluran pencernaan seperti usus, sehingga menghambat proses penyerapan nutrisi pada maknanan yang pada akhirnya menyebabkan gizi buruk pada anak balita.

DAFTAR PUSTAKA
Astya Palupi,  dkk. (2009). Status Gizi dan Hubungannya Dengan Kejadian Diare Pada Anak Diare Akut Di Ruang Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, 6, 1–7.
Briawan D, N. K. (2010). Konsumsi Pangan, Penyakit Infeksi, dan Status Gizi Anak Balita Pasca Perawatan Gizi Buruk. Jurnal Gizi Dan Pangan, 5(3), 164–170.
Depkes. (2008). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Appetite, 4(3), 654–661. https://doi.org/10.1016/j.jand.2013.10.013
Ernawati, A. (2003). Sanitasi Lingkungan, Tingkat Konsumsi, dan Infeksi Dengan Status Gizi Anak Usia 2-5 Tahun Di Kabupaten Semarang Tahun 2003. Universitas Diponogore, (September 2006), 1–99.
Fatimah S; dkk. (2008). Faktor-faktor Yang Berkontribusi Terhadap Status Gizi Pada Balita di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya (Laporan Akhir Penelitian Peneliti Muda). Bandung: Universitas Padjajaran.
Hakimi, Deliana. M, & Lubis, S. . (2010). Hipoglikemia pada bayi dan anak. Retrieved from http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-ENDOKRINOLOGI/mk_end_slide_hipoglikemia_pada_bayi_dan_anak.pdf
Handayani,  dkk; (2008). Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Hardinsyah, & Aries, M. (2012). Jenis Pangan Sarapan Dan Perannya Dalam Asupan Gizi Harian. Jenis Pangan Sarapan Dan Perannya Dalam Asupan Gizi Harian, 7(2), 89–96.
Hendarwato. (1997). Diare Akut Karena Infeksi. In Buku Ajar Penyakit Dalam (3rd ed., pp. 451–452).
Ira Indriaty,  dkk. (2015). Malaria pada Anak di Bawah Umur Lima Tahun Malaria in Children under Five Years Old, 65–71.
Kemenkes. (2016). Buku Saku Pemantauan Status Gizi dan Indikator Kinerja Gizi Tahun 2015, 42–84. https://doi.org/17 November 2016
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. https://doi.org/351.770.212 Ind P
Limanto, T. L. (2010). Malaria Falciparum, 11(5), 363–366.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: ECG.
Noer, M. S. N. S. (2006). Infeksi Saluran Kemih. Retrieved June 13, 2017, from www.pediatrik.com
Paputungan, W., Rombot, D., & Akili, R. H. (2016). Dengan Kejadian Demam Tifoid Di Wilayah Kerja Puskesmas Upai Kota Kotamobagu Tahun 2015, 5(2), 266–275.
Pudjiadi. (1996). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
R.I, D. K. (2005). Rencana Strategi Departemen Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Restuti, A. N., & Susindra, Y. (2016). Hubungan antara Asupan Zat Gizi dan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri di SMK Mahfilud Durror II Jelbuk, 74–80.
Rosalind Gibson. (2005). Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University.
Rosari, A., Rini, E. A., & Masrul. (2013). Hubungan Diare dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3), 111–115.
Saikhu, A. (2007). Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku Yang Mempengaruhi Kejadian Kesakitan Malaria Di Propinsi Sumatera Selatan ( Analisis Lanjut Data Riset Kesehatan Dasar 2007 ) Environmental and Behavioral Risk Factors that Influencing Malaria Morbidity Cases in South. Aspirator, 3, 8–17.
Soekirman. (2000). Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
W, Z. (2011). Tinjuan Pustaka Malaria. Retrieved June 13, 2017, from www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35528/4/chapter 11.pdf

0 komentar:

Post a Comment