
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu isu penting yang muncul di era millennium awal abad 21 ini adalah persoalan gender.Isu tentang gender ini sudah mulai menjadi bahasan pokok serta wacana perdebatan di dalam setiap kajian dan praksis social, pembangunan dan perubahan social. Proses pembangunan menjadi titik awal perbincangan mengenai isu perempuan dan gender. Intinya adalah suatu gugatan dan protes terhadap ketidakadilan, ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.Ketidakadilan, ketidaksetaraan dan diskriminasi tersebut terjadi hampir di semua ranah kehidupan, baik ranah keluarga/rumah tangga, komunitas/masyarakat, ranah negara, maupun komunitas internasional.Tulisan kecil ini mencoba memperkenalkan dan mendiskusikan beberapa konsep kunci seputar isu gender, khususnya sebagai konstruksi social budaya dan pengaruhnya terhadapat kesehatan.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Gender ?
b. Apa Perbedaan Gender dan Sex ?
c. Apa Pengertian Etnis ?
d. Bagaimana Peranan Gender dalam Kesehatan ?
e. Bagaimana Pengaruh Etnis dalam Kesehatan ?
f. Apa Hubungan Peranan Gender dan Pengaruh Etnis dalam Kesehatan ?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Pengertian Gender
b. Untuk Mengetahui Perbedaan Gender dan Sex
c. Untuk Mengetahui Pengertian Etnis
d. Untuk MengetahuiPeranan Gender dalam Kesehatan
e. Untuk MengetahuiPengaruh Etnis dalam Kesehatan
f. Untuk Mengetahui Hubungan Peranan Gender dan Pengaruh Etnis dalam Kesehatan
a. Apa Pengertian Gender ?
b. Apa Perbedaan Gender dan Sex ?
c. Apa Pengertian Etnis ?
d. Bagaimana Peranan Gender dalam Kesehatan ?
e. Bagaimana Pengaruh Etnis dalam Kesehatan ?
f. Apa Hubungan Peranan Gender dan Pengaruh Etnis dalam Kesehatan ?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Pengertian Gender
b. Untuk Mengetahui Perbedaan Gender dan Sex
c. Untuk Mengetahui Pengertian Etnis
d. Untuk MengetahuiPeranan Gender dalam Kesehatan
e. Untuk MengetahuiPengaruh Etnis dalam Kesehatan
f. Untuk Mengetahui Hubungan Peranan Gender dan Pengaruh Etnis dalam Kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Gender
Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Gender
Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."
Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain adalah genus) bagi pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa.
Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.[5]
Pemakaian gender dalam wacana feminism mula,pertama dicetuskan oleh Anne
Pemakaian gender dalam wacana feminism mula,pertama dicetuskan oleh Anne
Oakkley. Perbedaan antara seks (jenis kelamin) dan gender adalah bahwa yang pertama berkaitan erat dengan ciri-ciri biologis dan fisik tertentu kromosom dan genitalia (eksternal maupun internal). Sementara identitas gender lebih banyak dibentuk oleh persepsi sosial dan budaya tentang stereotip perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat. Karena gender ditentukan secara sosial, maka ideologi dan wawasan suatu masyarakat atau suatu bangsa turut serta membangun gagasan tentang identitas ini.
2.2. Perbedaan Gender dan Seks
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks).Margert Mead (1935) misalnya telah menyatakan bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi social.Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu.Karenanya, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh (Tuttle, 1986).Misalnya, laki-laki memiliki jakun, penis, memproduksi sperma, dan ciri-ciri biologis lainnya yang berbeda dari perempuan.Perempuan misalnya memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan alat-alat reproduksi lainnya sehingga bisa haid, hamil, melahirkan, menyusui (fungsi reproduksi).Perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara seks, biologis dan anatomis ini adalah bersifat bawaan (sejak lahir), permanen (tetap), tidak dapat dipertukarkan, dan kodrati (ciptaan Tuhan).
2.2. Perbedaan Gender dan Seks
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks).Margert Mead (1935) misalnya telah menyatakan bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi social.Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu.Karenanya, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh (Tuttle, 1986).Misalnya, laki-laki memiliki jakun, penis, memproduksi sperma, dan ciri-ciri biologis lainnya yang berbeda dari perempuan.Perempuan misalnya memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan alat-alat reproduksi lainnya sehingga bisa haid, hamil, melahirkan, menyusui (fungsi reproduksi).Perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara seks, biologis dan anatomis ini adalah bersifat bawaan (sejak lahir), permanen (tetap), tidak dapat dipertukarkan, dan kodrati (ciptaan Tuhan).
Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara social.Gender adalah kelompok atribut, perilaku, posisi, perilaku dan peran yang dibentuk secara social budaya kepada laki-laki dan perempuan.Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain sebagainya.Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya.Ternyata, sifat-sifat tersebut bukan kodrati (ciptaan Tuhan), karena tidak bertahan selamanya, dan dapat pula dipertukarkan.Artinya, laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, sebaliknya perempuan pun ada juga yang kuat, rasional, dan sebagainya.
2.3. Pengertian Etnis
Etnis dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sesuatu yang berkaitan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya.[2]
2.3. Pengertian Etnis
Etnis dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sesuatu yang berkaitan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya.[2]
Penggunaan istilah etnis pertama kali dipakai oleh sosiolog David Riesman Amerika pada tahun 1953. Kata "etnis", bagaimanapun, adalah jauh lebih tua.Kata ini berasal dari ethnos Yunani (yang pada gilirannya berasal dari kata ethnikos), yang awalnya berarti kafir atau penyembah berhala (R. Williams, 1976: 119).Itu digunakan dalam pengertian dalam bahasa Inggris dari pertengahan abad ke-14 sampai pertengahan abad ke-19, ketika secara bertahap mulai untuk merujuk pada "ras" karakteristik. Di Amerika Serikat, "etnis" datang yang akan digunakan di sekitar Perang Dunia Kedua sebagai istilah sopan mengacu pada orang-orang Yahudi, Italia, orang Irlandia dan lainnya dianggap lebih rendah untuk kelompok dominan sebagian besar keturunan Inggris. Tak satu pun dari para pendiri sosiologi dan antropologi sosial - dengan pengecualian parsial Max Weber - diberikan perhatian banyak etnis.[3]
Etnis merujuk pada hubungan antara kelompok-kelompok yang anggotanya menganggap diri mereka berbeda, dan kelompok-kelompok ini dapat peringkat hierarkis dalam masyarakat.Karena itu perlu untuk membedakan secara jelas antara etnisitas dan kelas sosial.[4]
2.4. Peran Gender Dalam Bidang Kesehatan
Bidan dalam Gender
Secara kodrati, perempuan dan laki-laki adalah dua jenis kelamin yang berbeda.Perbedaan yang bersifat universal tersebut, sayangnya banyak disalah artikan sebagai sebuah sekat yang membentengi ruang gerak.Dalam perkembangannya kemudian, jenis kelamin perempuan lebih banyak menerima tekanan, hanya karena secara kodrati perempuan dianggap lemah dan tak berdaya.
Yulfita Rahardjo dari Pusat Studi Kependudukan dan Pemberdayaan Manusia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, persepsi yang bias tersebut pada akhirnya menyulitkan perempuan untuk mendapatkan akses pada berbagai segi kehidupan, utamanya bidang kesehatan yang menentukan kehidupan dan kematian perempuan. Secara biologis, perempuan melahirkan, menstruasi dan menyusui, sementara pria tidak.Perempuan memiliki payudara yang berfungsi untuk menyusui, laki-laki tidak punya.Demikian juga jakun dan testikel yang dimiliki pria, tidak dimiliki kaum hawa.
2.4. Peran Gender Dalam Bidang Kesehatan
Bidan dalam Gender
Secara kodrati, perempuan dan laki-laki adalah dua jenis kelamin yang berbeda.Perbedaan yang bersifat universal tersebut, sayangnya banyak disalah artikan sebagai sebuah sekat yang membentengi ruang gerak.Dalam perkembangannya kemudian, jenis kelamin perempuan lebih banyak menerima tekanan, hanya karena secara kodrati perempuan dianggap lemah dan tak berdaya.
Yulfita Rahardjo dari Pusat Studi Kependudukan dan Pemberdayaan Manusia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, persepsi yang bias tersebut pada akhirnya menyulitkan perempuan untuk mendapatkan akses pada berbagai segi kehidupan, utamanya bidang kesehatan yang menentukan kehidupan dan kematian perempuan. Secara biologis, perempuan melahirkan, menstruasi dan menyusui, sementara pria tidak.Perempuan memiliki payudara yang berfungsi untuk menyusui, laki-laki tidak punya.Demikian juga jakun dan testikel yang dimiliki pria, tidak dimiliki kaum hawa.
Jenis kelamin memang bersifat kodrati, seperti melahirkan dan menyusui bagi perempuan. Tapi gender yang mengacu pada peran, perilaku dan kegiatan serta atribut lainnya yang dianggap oleh suatu masyarakat budaya tertentu sebagai sesuatu yang pantas untuk perempuan atau pantas untuk laki-laki, masih bisa dirubah.Di beberapa wilayah dengan adat istiadat dan budaya tertentu, isu gender memang sangat membedakan aktivitas yang boleh dilakukan antara pria dan wanita. Pada masyarakat Jawa dari strata tertentu misalnya, merokok dianggap pantas untuk laki-laki, tapi tidak untuk perempuan.
Demikian dengan profesi bidan, yang sebagian besar disandang perempuan.Sementara dokter kandungan didominasi laki-laki.Bahkan pernah dalam satu masa, dokter kandungan tidak boleh dilakoni kaum hawa. Juga mitos gender seputar hubungan seksual, dimana isteri tabu meminta suaminya untuk pakai kondom. Jadi yang ber-KB adalah kaum perempuan.Dalam masalah ini bidan berperan untuk member penyuluhan kepada pasangan suami istri bahwa tidak hanya kaum wanita yang diharuskan memakai KB namun kaum laki-laki pun perlu memakai KB bila ingin meminimalisir kehamilan dan persalinan.
Data terakhir, Indonesia masih menempati urutan tertinggi dengan Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 307/100 ribu kelahiran dan Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 45/1000 kelahiran hidup.Tak pelak lagi, perempuan seringkali menghadapi hambatan untuk mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan.Hal itu disebabkan tiga hal, yakni jarak geografis, jarak sosial budaya serta jarak ekonomi.
Perempuan biasanya tidak boleh bepergian jauh.Jadi kalau rumah sakit atau puskesmas letaknya jauh, sulit juga perempuan mendapatkan pelayanan kesehatan.Dalam masalah ini bidan desa atau bidan yang berada di daerah terpencil sangat berperan penting untuk memberikan pelayanan kesehatan yang layak kepada para wanita ataupun pria yang menduduki tempat terpencil.
Hambatan lainnya adalah jarak sosial budaya.Selama ini, ada keengganan kaum ibu jika mendapatkan pelayanan kesehatan dari petugas kesehatan laki-laki.Mereka, kaum ibu di pedesaan ini, lebih nyaman kalau melahirkan di rumah dan ditemani mertua dan anak-anak. Akibatnya, apabila terjadi perdarahan dalam proses persalinan, sulit sekali mendapatkan layanan dadurat dengan segera. Bidan pun berperan dalam member penyuluhan tentang bahaya melahirkan dirumah tanpa bantuan tenaga medis.Itu semua dilakukan untuk meminimalisir Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angkan Kematian Bayi (AKB) yang saat ini semakin berkembang setiap tahunnya.
Yang paling penting menjadi hambatan adalah masalah ekonomi.Banyak keluarga yang kurang mampu, sehingga harus berpikir dua kali untuk menuju rumah sakit atau rumah bersalin.Sebagai seorang bidan, jangan melihat klien berdasarkan status ekonominya karena bidan berperan sebagai penolong bagi semua kliennnya dan tidak membedakan status ekonominya. Selain menimpa perempuan, bias gender juga bisa menimpa kaum pria.Di bidang kesehatan, lebih banyak perempuan menerima program pelayanan dan informasi kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan anak ketimbang laki-laki. Hal itu bisa jadi ada kaitannya dengan stereotip gender yang melabelkan urusan hamil, melahirkan, mengasuh anak dan kesehatan pada umumnya sebagai urusan perempuan. Dari beberapa contoh diatas memperlihatkan bagaimana norma dan nilai gender serta perilaku yang berdampak negatif terhadap kesehatan.Untuk itu, tugas bidan adalah meningkatkan kesadaran mengenai gender dalam meurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.
2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya masyarakat.
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.
7. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.
2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya masyarakat.
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.
7. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, telah diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu: Mengenai wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem pemerintahan desa dengan cara:
1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang penduduk dari masing-masing RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi:
· Jenis kelamin
· Umur
· Mata pencaharian
· Pendidikan
· Agama
4. Mempelajari peta desa
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.
2.5. Pengaruh Etnis Dalam Bidang Kesehatan
Dalam tiap kebudayaan terdapat berbagai kepercayaan yang berkaitan dengan kesehatan. Di pedesaan masyarakat jawa, ibu nifas tidak boleh makan yang amis-amis (misalnya : Ikan) karena menurut kepercayaan akan membuat jahitan perineum sulit sembuh dan darah nifas tidak berhenti. Menurut ilmu gizi hal tersebut tidak dibenarkan karena justru ikan harus dikonsumsi karena mengandung protein sehingga mempercepat pemulihan ibu nifas.Disinilah peran petugas kesehatan untuk meluruskan anggapan tersebut.
1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang penduduk dari masing-masing RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi:
· Jenis kelamin
· Umur
· Mata pencaharian
· Pendidikan
· Agama
4. Mempelajari peta desa
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.
2.5. Pengaruh Etnis Dalam Bidang Kesehatan
Dalam tiap kebudayaan terdapat berbagai kepercayaan yang berkaitan dengan kesehatan. Di pedesaan masyarakat jawa, ibu nifas tidak boleh makan yang amis-amis (misalnya : Ikan) karena menurut kepercayaan akan membuat jahitan perineum sulit sembuh dan darah nifas tidak berhenti. Menurut ilmu gizi hal tersebut tidak dibenarkan karena justru ikan harus dikonsumsi karena mengandung protein sehingga mempercepat pemulihan ibu nifas.Disinilah peran petugas kesehatan untuk meluruskan anggapan tersebut.
Di daerah Langkat, Sumatera Utara ada kebudayaan yang melarang ibu nifas untuk melakukan mobilisasi selama satu minggu sejak persalinan. Ibu nifas harus bedrest total selama seminggu karena dianggap masih lemah dan belum mampu beraktivitas sehingga harus istirahat di tempat tidur. Mereka juga menganggap bahwa dengan ilmu pengetahuan saat ini bahwa dengan beraktivitas maka proses penyembuhan setelah persalinan akan terhambat. Hal ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan saat ini bahwa ibu nifas harus melakukan mobilisasi dini agar cepat pulih kondisinya.Dengan mengetahui kebudayaan di daerah tersebut, petugas kesehatan dapat masuk perlahan-lahan untuk memberi pengertian yang benar kepada masyarakat.
Di sisi lain ada kebudayaan yang sejalan dengan aspek kesehatan. Dalam arti kebudayaan yang berlaku tersebut tidak bertentangan bahkan saling mendukung dengan aspek kesehatan.Dalam hal ini petugas kesehatan harus mendukung kebudayaan tersebut.Tetapi kadangkala rasionalisasinya tidak tepat sehingga peran petugas kesehatan adalah meluruskan anggapan tersebut.Sebagai contoh, ada kebudayaan yang menganjurkan ibu hamil minum air kacang hijau agar rambut bayinya lebat.Kacang hijau sangat baik bagi kesehatan karena banyak mengandung vitamin B yang berguna bagi metabolisme tubuh.Petugas kesehatan mendukung kebiasaan minum air kacang hijau tetapi meluruskan anggapan bahwa bukan membuat rambut bayi lebat tetapi karena memang air kacang hujau banyak vitaminnya. Ada juag kebudayaan yang menganjurkan ibu menyusui untuk amakan jagung goring (di Jawa disebut “marning”) untuk melancarkan air susu. Hal ini tidak bertentangan dengan kesehatan. Bila ibu makan jagung goring maka dia akan mudah haus. Karena haus dia akan minum banyak. Banyak minum inilah yang dapat melancarkan air susu.
Dalam makalah ini kita mempelajari tentang perkembangan nilai budaya dan kaitannya dengan kesehatan masyarakat.Hal ini berkaitan dengan pentingnya petugas kesehatan mempelajari kebudayaan di suatu wilayah agar dapat memperbaiki status kesehatan masyarakat di daerah tersebut.
Kebudayaan dan Pengobatan Tradisional
Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit.Berbeda dengan ilmu kedokteran yang menganggap bahwa penyebab penyakit adalah kuman, kemudian diberi obat antibiotika dan obat tersebut dapat mematikan kuman penyebab penyakit.Pada masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh penyebab biologis.Kadangkala mereka menghubung-hubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit.
Kebudayaan dan Pengobatan Tradisional
Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit.Berbeda dengan ilmu kedokteran yang menganggap bahwa penyebab penyakit adalah kuman, kemudian diberi obat antibiotika dan obat tersebut dapat mematikan kuman penyebab penyakit.Pada masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh penyebab biologis.Kadangkala mereka menghubung-hubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit.
Banyak suku di Indonesia menganggap bahwa penyakit itu timbul akibat guna-guna. Orang yang terkena guna-guna akan mendatangi dukun untuk meminta pertolongan. Masing-masing suku di Indonesia memiliki dukun atau tetua adat sebagai penyembuh orang yang terkena guna-guna tersebut.Cara yang digunakan juga berbeda-beda masing-masing suku.Begitu pula suku-suku di dunia, mereka menggunakan pengobatan tradisional masing-masing untuk menyembuhkan anggota sukunya yang sakit.
Suku Azande di Afrika Tengah mempunyai kepercayaan bahwa jika anggota sukunya jari kakinya tertusuk sewaktu sedang berjalan melalui jalan biasa dan dia terkena penyakit tuberkulosis maka dia dianggap terkena serangan sihir. Penyakit itu disebabkan oleh serangan tukang sihirdan korban tidak akan sembuh sampai serangan itu berhenti.
Orang Kwakuit di bagian barat Kanada percaya bahwa penyakit dapat disebabkan oleh dimasukkannya benda asing ke dalam tubuh dan yang terkena dapat mencari pertolongan ke dukun.Dukun itu biasa disebut Shaman. Dengan suatu upacara penyembuhan maka Shamanakan mengeluarkan benda asing itu dari tubuh pasien.
Berikut beberapa contoh yang dapat dijadikan pembanding seberapa besar pengaruh sosial budaya dalam praktik kesehatan masyarakat.
a. Pengaruh social budaya pada saat kehamilan
1. Enggannya ibu hamil memeriksakan kehamilannya pada bidan di puskesmas atau sarana kesehatan lainnya. Mereka lebih senang memeriksakan kehamilannya dengan dukun kampung karena dianggap sudah terpercaya dan turun-temurun dilakukan. Padahal, dukun kampung tersebut tidak memiliki pengetahuan standar dalam pelayanan kehamilan yang normal.
2. Pada saat hamil, ibu hamil dilarang makan ikan, telur atau makanan bergizi lainnya karena dipercaya akan menimbulkan bau amis saat melahirkan. Hal ini sebenarnya tidak perlu dilakukan karena berbahaya bagi kesehatan ibu dan dapat mengakibatkan ibu kekurangan asupan gizi akan protein yang terkandung pada ikan.
a. Pengaruh social budaya pada saat kehamilan
1. Enggannya ibu hamil memeriksakan kehamilannya pada bidan di puskesmas atau sarana kesehatan lainnya. Mereka lebih senang memeriksakan kehamilannya dengan dukun kampung karena dianggap sudah terpercaya dan turun-temurun dilakukan. Padahal, dukun kampung tersebut tidak memiliki pengetahuan standar dalam pelayanan kehamilan yang normal.
2. Pada saat hamil, ibu hamil dilarang makan ikan, telur atau makanan bergizi lainnya karena dipercaya akan menimbulkan bau amis saat melahirkan. Hal ini sebenarnya tidak perlu dilakukan karena berbahaya bagi kesehatan ibu dan dapat mengakibatkan ibu kekurangan asupan gizi akan protein yang terkandung pada ikan.
b. Pengaruh sosial pada masa kelahiran
1) Pemberian kunyit atau bahan dapur lain pada tali pusar yang sudah dipercaya turun-temurun. Kemudian, menekan tali pusar tersebut dengan logam. Hal ini tidak boleh dilakukan karena sebenarnya akan mengakibatkan iritasi dan infeksi kuman pada tali pusar bayi baru lahir.
2) Apabila proses persalinan yang ditolong dukun kampung menyebabkan kematian ibu atau anak. Maka hal itu dianggap wajar karena dipercaya ibu hamil telah melanggar pantangan yang diberikan oleh si dukun.
3) Plasenta bayi baru lahir,setelah di cuci hendak nya di injak dulu oleh kakaknya jika bayi tsb memiliki kakak. Jika mempercayai mitos tersebut jika tidak terpenuhi malah akan timbul beban pada keluarga, jadi sebaik nya tidak dilakukan.
4) Plasenta bayi di beri sisir,gula merah, kelapa,pensil,kertas,dan kembang tujuh rupa kemudian di masukkan ke dalam kendi baru dikuburkan. Jika mempercayai mitos tersebut ,jika tidak terpenuhi malah akan timbul beban pada keluarga. Jadi sebaik nya tidak dilakukan.
5) Pusar bayi yang puput di simpan dan jika bayi sudah besar,pusat tersebut bisa jadi obat untuk bayi,caranya tali pusat di rendam dan di minum kan kepada si bayi. Mitos seperti ini malah merugikan karna jika sampai terminum oleh bayi maka akan membiarkan mikroorganisme yang ada di plasenta akan masuk ke tubuh bayi.
6) Wanita- wanita Hausa yang tinggal di sekitar Zaria Nigeria utara, secara tradisi memakan garam kurang selama priode nifas, untuk meningkatkan produksi air susunya. Merka juga menganggap bahwa hawa dingin adalah penyebab penyakit. Oleh sebab itu mereka memanasi tubuhnya paling kurang selama 40 hari setelah melahirkan. Diet garam yang berlebihan dan hawa panas, merupakan penyebab timbulnya kegagalan jantung. Faktor budaya disini adalah kebiasaan makan garam yang berlebihan dan memanasi tubuh adalah faktor pencetus terjadinya kegagalan jantung.
1) Pemberian kunyit atau bahan dapur lain pada tali pusar yang sudah dipercaya turun-temurun. Kemudian, menekan tali pusar tersebut dengan logam. Hal ini tidak boleh dilakukan karena sebenarnya akan mengakibatkan iritasi dan infeksi kuman pada tali pusar bayi baru lahir.
2) Apabila proses persalinan yang ditolong dukun kampung menyebabkan kematian ibu atau anak. Maka hal itu dianggap wajar karena dipercaya ibu hamil telah melanggar pantangan yang diberikan oleh si dukun.
3) Plasenta bayi baru lahir,setelah di cuci hendak nya di injak dulu oleh kakaknya jika bayi tsb memiliki kakak. Jika mempercayai mitos tersebut jika tidak terpenuhi malah akan timbul beban pada keluarga, jadi sebaik nya tidak dilakukan.
4) Plasenta bayi di beri sisir,gula merah, kelapa,pensil,kertas,dan kembang tujuh rupa kemudian di masukkan ke dalam kendi baru dikuburkan. Jika mempercayai mitos tersebut ,jika tidak terpenuhi malah akan timbul beban pada keluarga. Jadi sebaik nya tidak dilakukan.
5) Pusar bayi yang puput di simpan dan jika bayi sudah besar,pusat tersebut bisa jadi obat untuk bayi,caranya tali pusat di rendam dan di minum kan kepada si bayi. Mitos seperti ini malah merugikan karna jika sampai terminum oleh bayi maka akan membiarkan mikroorganisme yang ada di plasenta akan masuk ke tubuh bayi.
6) Wanita- wanita Hausa yang tinggal di sekitar Zaria Nigeria utara, secara tradisi memakan garam kurang selama priode nifas, untuk meningkatkan produksi air susunya. Merka juga menganggap bahwa hawa dingin adalah penyebab penyakit. Oleh sebab itu mereka memanasi tubuhnya paling kurang selama 40 hari setelah melahirkan. Diet garam yang berlebihan dan hawa panas, merupakan penyebab timbulnya kegagalan jantung. Faktor budaya disini adalah kebiasaan makan garam yang berlebihan dan memanasi tubuh adalah faktor pencetus terjadinya kegagalan jantung.
c. Pengaruh sosial budaya terhadap pelayanan kesehatan
1) Pengobatan tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris bagian tubuh atau dengan memanasi penderita,akan tidak puas hanya dengan memberikan pil untuk diminum. Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu mereka akan berfikir dan menerima.
2) Contoh lain dari Papua Nugini dan Nigeria. ”pigbel” sejenis penyakit berat yang dapat menimbulkan kematian disebabkan oleh kuman clodistrium perfringens type C. Penduduk papua Nugini yang tinggal didaratan tinggi biasanya sedikit makan daging. Oleh sebab itu, cenderung untuk menderita kekurangan enzim protetase dalam usus. Bila suatu perayaan tradisional diadakan, mereka makan daging babi dalam jumlah banyak tapi tungku tempat masaknya tidak cukup panas untuk memasak daging dengan baik sehingga kuman clostridia masih dapat berkembang. Makanan pokok mereka adalah kentang, mengandung tripsin inhibitor, oleh sebab itu racun dari kuman yang seharusnya terurai oleh tripsin, menjadi terlindung. Tripsin inhibitor juga dihasilkan oleh cacing ascaris yang banyak terdapat pada penduduk tersebut. Kuman dapat juga berkembang dalam daging yang kurang dicernakan, dan secara bebas mengeluarkan racunnya.
3) Bentuk pengobatan yang di berikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka menganggap penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila meraka duga penyebabnya adalah fator ilmiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawana denganpemikiran secara medis.
4) Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring tanpa membawa ke pelayanan kesehatan.
5) Banyak masyarakat pedalaman tidak mempercayai kemampuan petugas kesehatan karena kurangnya informasi yang mereka dapatkan di tempat terpencil. Mereka lebih senang melakukan ritual-ritual khusus saat terserang penyakit daripada datang ke unit kesehatan terdekat.
6) Masih banyaknya masyarakat yang enggan melakukan pencegahan kehamilan atau pelayanan Keluarga Berencana karena bertentangan dengan budaya ataupun kepercayaan yang dianut. Sehingga mereka cenderung memilih memiliki anak banyak. Hal ini sebenarnya merugikan karena dapat menimbulkan ledakan penduduk dan ketidakseimbangan jumlah populasi masyarakat di Indonesia dengan kesempatan kerja yang tersedia.
7) Masih minimnya kepedulian masyarakat tentang pemahaman konsep sehat sakit. Mereka menganggap sakit adalah keadaan jika sama ssekali tidak dapat melakukan aktifitas. Bahkan mereka tidak senang mencegah penyakit melainkan hanya bersifat pengobatan sehingga seringkali baru dilakukan pengobatan saat kondisinya parah sehingga tingkat kesembuhannya sangat kecil
2.6. Hubungan Peranan Gender dan Etnis dalam Bidang Kesehatan
a. Dalam Profesi Seorang Bidan (Gender Feminim Terhadap Etnis)
Sebagai bidan, dalam melihat kebudayaan masyarakat tempat bekerja harus mampu memaklumi mayarakat tersebut.Karena sebenarnya persalinan bagi orang awamkurang dipahami atau bahkan tidak dimengerti.Mereka baru tahu setelah bidan menjelaskannya. Kebudayaan dalam suatu masyarakat pastinya akan dianggap baik oleh masyarakat setempat, tetapi bidan harus mampu menimbang dampak positif dan negatif dari suatu kebudayaan terhadap proses persalinan.
Kebudayaan-kebudayaan yang ada, selama tidak menganggu kerja bidan dalam menolong persalinan maka tidak menjadi masalah.Apalagi jika justru kebudayaan tersebut ada yang membantu kerja bidan misalnya kesediaan seorang suami menunggu istrinya saat bersalin dengan member motivasi. Jelas itu akan mempermudah kerja bidan.
1) Pengobatan tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris bagian tubuh atau dengan memanasi penderita,akan tidak puas hanya dengan memberikan pil untuk diminum. Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu mereka akan berfikir dan menerima.
2) Contoh lain dari Papua Nugini dan Nigeria. ”pigbel” sejenis penyakit berat yang dapat menimbulkan kematian disebabkan oleh kuman clodistrium perfringens type C. Penduduk papua Nugini yang tinggal didaratan tinggi biasanya sedikit makan daging. Oleh sebab itu, cenderung untuk menderita kekurangan enzim protetase dalam usus. Bila suatu perayaan tradisional diadakan, mereka makan daging babi dalam jumlah banyak tapi tungku tempat masaknya tidak cukup panas untuk memasak daging dengan baik sehingga kuman clostridia masih dapat berkembang. Makanan pokok mereka adalah kentang, mengandung tripsin inhibitor, oleh sebab itu racun dari kuman yang seharusnya terurai oleh tripsin, menjadi terlindung. Tripsin inhibitor juga dihasilkan oleh cacing ascaris yang banyak terdapat pada penduduk tersebut. Kuman dapat juga berkembang dalam daging yang kurang dicernakan, dan secara bebas mengeluarkan racunnya.
3) Bentuk pengobatan yang di berikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka menganggap penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila meraka duga penyebabnya adalah fator ilmiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawana denganpemikiran secara medis.
4) Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring tanpa membawa ke pelayanan kesehatan.
5) Banyak masyarakat pedalaman tidak mempercayai kemampuan petugas kesehatan karena kurangnya informasi yang mereka dapatkan di tempat terpencil. Mereka lebih senang melakukan ritual-ritual khusus saat terserang penyakit daripada datang ke unit kesehatan terdekat.
6) Masih banyaknya masyarakat yang enggan melakukan pencegahan kehamilan atau pelayanan Keluarga Berencana karena bertentangan dengan budaya ataupun kepercayaan yang dianut. Sehingga mereka cenderung memilih memiliki anak banyak. Hal ini sebenarnya merugikan karena dapat menimbulkan ledakan penduduk dan ketidakseimbangan jumlah populasi masyarakat di Indonesia dengan kesempatan kerja yang tersedia.
7) Masih minimnya kepedulian masyarakat tentang pemahaman konsep sehat sakit. Mereka menganggap sakit adalah keadaan jika sama ssekali tidak dapat melakukan aktifitas. Bahkan mereka tidak senang mencegah penyakit melainkan hanya bersifat pengobatan sehingga seringkali baru dilakukan pengobatan saat kondisinya parah sehingga tingkat kesembuhannya sangat kecil
2.6. Hubungan Peranan Gender dan Etnis dalam Bidang Kesehatan
a. Dalam Profesi Seorang Bidan (Gender Feminim Terhadap Etnis)
Sebagai bidan, dalam melihat kebudayaan masyarakat tempat bekerja harus mampu memaklumi mayarakat tersebut.Karena sebenarnya persalinan bagi orang awamkurang dipahami atau bahkan tidak dimengerti.Mereka baru tahu setelah bidan menjelaskannya. Kebudayaan dalam suatu masyarakat pastinya akan dianggap baik oleh masyarakat setempat, tetapi bidan harus mampu menimbang dampak positif dan negatif dari suatu kebudayaan terhadap proses persalinan.
Kebudayaan-kebudayaan yang ada, selama tidak menganggu kerja bidan dalam menolong persalinan maka tidak menjadi masalah.Apalagi jika justru kebudayaan tersebut ada yang membantu kerja bidan misalnya kesediaan seorang suami menunggu istrinya saat bersalin dengan member motivasi. Jelas itu akan mempermudah kerja bidan.
Selama ini, ada keengganan kaum ibu jika mendapatkan pelayanan kesehatan dari petugas kesehatan laki-laki.Mereka, kaum ibu di pedesaan ini, lebih nyaman kalau melahirkan di rumah dan ditemani mertua dan anak-anak. Akibatnya, apabila terjadi perdarahan dalam proses persalinan, sulit sekali mendapatkan layanan dadurat dengan segera. Bidan pun berperan dalam member penyuluhan tentang bahaya melahirkan dirumah tanpa bantuan tenaga medis.Itu semua dilakukan untuk meminimalisir Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angkan Kematian Bayi (AKB) yang saat ini semakin berkembang setiap tahunnya.
b. Dalam Peran Seorang Suami Seorang Saat Istri Melahirkan (Gender Maskulin Terhadap Etnis)
Selama ini di pandang bahwa peran seorang suami selama istri melahirkan tidak diperlukan bahkan dapat mangganggu proses persalinan. Hal ini dipercaya oleh sebagian besar oleh orang-orang awam dengan berbagai mitos, seperti, jika ayahnya menemani ibu yang melahirkan maka anaknya akan gampang sakit, da nada juga yang mengatakan anaknya akan rewel serta lambat berjalan. Pandangan-pandang seperti ini tentu perlu diluruskan, karena pada dasarnya peran seorang suami sangat dibutuhkan oleh seorang ibu yang hendak bersalin.Hal ini dapat memberikan ketenangan, rasa nyaman, dan merasa terlindungi dalam diri seorang ibu.
Selama ini di pandang bahwa peran seorang suami selama istri melahirkan tidak diperlukan bahkan dapat mangganggu proses persalinan. Hal ini dipercaya oleh sebagian besar oleh orang-orang awam dengan berbagai mitos, seperti, jika ayahnya menemani ibu yang melahirkan maka anaknya akan gampang sakit, da nada juga yang mengatakan anaknya akan rewel serta lambat berjalan. Pandangan-pandang seperti ini tentu perlu diluruskan, karena pada dasarnya peran seorang suami sangat dibutuhkan oleh seorang ibu yang hendak bersalin.Hal ini dapat memberikan ketenangan, rasa nyaman, dan merasa terlindungi dalam diri seorang ibu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan.Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit.Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya.
B.Saran
Sebagai petugas kesehatan perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat, maka petugas kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan. Kita juga perlu mempelajari bahasa lokal agar lebih mudah berkomunikasi, menambah rasa kedekatan, rasa kepemilikan bersama dan rasa persaudaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu Purnamaningrum, 2010, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Perilaku Masyarakat Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Mata (Factors Related To The Community’s Behaviour To Get Eye
Health Servic), Universitas Diponegoro. (diakses tgl 20 februari 2015
Dwi Hapsari, dkk.,2012, Pengaruh Lingkungan Sehat, Dan Perilaku Hidup Sehat
Terhadap Status Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Jakarta. (diakses tgl 20 februari 2015)
Entjang,Momon sudarman, sosiologi untuk kesehatan, google book. (Diaskes 20 februari)
Notoatmodjo Soekidjo, 1990, Pengantar Perilaku Kesehatan, FKM-UI, Jakarta.
Nugroho,dkk., 2010, Perilaku Kesehatan Dan Proses Perubahannya
Dinas Kesehatan Polewali mandar, Sulawesi tengah.
Putriyani, 2012, Persepsi tentang Kesehatan Diri dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Berobat Ke Dukun Cilik Ponari, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. (Diaskes 21 februari)
Reni Kustyana, 2013, Perilaku Masyarakat Dalam Memanfaatkan Pelayanan Kesehatan (Studi Pada Poliklinik Desa Dan Dukun Di Gunung Ibul Barat Prabumulih), Universitas Sriwijaya, Palembang. (Diaskes 20 februari)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan.Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit.Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya.
B.Saran
Sebagai petugas kesehatan perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat, maka petugas kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan. Kita juga perlu mempelajari bahasa lokal agar lebih mudah berkomunikasi, menambah rasa kedekatan, rasa kepemilikan bersama dan rasa persaudaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu Purnamaningrum, 2010, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Perilaku Masyarakat Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Mata (Factors Related To The Community’s Behaviour To Get Eye
Health Servic), Universitas Diponegoro. (diakses tgl 20 februari 2015
Dwi Hapsari, dkk.,2012, Pengaruh Lingkungan Sehat, Dan Perilaku Hidup Sehat
Terhadap Status Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Jakarta. (diakses tgl 20 februari 2015)
Entjang,Momon sudarman, sosiologi untuk kesehatan, google book. (Diaskes 20 februari)
Notoatmodjo Soekidjo, 1990, Pengantar Perilaku Kesehatan, FKM-UI, Jakarta.
Nugroho,dkk., 2010, Perilaku Kesehatan Dan Proses Perubahannya
Dinas Kesehatan Polewali mandar, Sulawesi tengah.
Putriyani, 2012, Persepsi tentang Kesehatan Diri dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Berobat Ke Dukun Cilik Ponari, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. (Diaskes 21 februari)
Reni Kustyana, 2013, Perilaku Masyarakat Dalam Memanfaatkan Pelayanan Kesehatan (Studi Pada Poliklinik Desa Dan Dukun Di Gunung Ibul Barat Prabumulih), Universitas Sriwijaya, Palembang. (Diaskes 20 februari)