Saturday, 14 October 2017

Program Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan melalui kegiatan komprehensif yang meliputi empat pilar (4 prong), yaitu:

1.    Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)
2.    Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif
3.    Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya
4.    Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya

Baca Juga :

A.  Prong 1: Pencegahan  PenularanHIV  Pada  Perempuan UsiaReproduksi
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV  pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15-49  tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV.

Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV-AIDS, dan penyakit IMS dan didalam koridor kesehatan reproduksi. Isi pesan yang disampaikan tentunya harus memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat setempat, sehingga proses edukasi termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV-AIDS dikalangan remaja semakin baik.

Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah penularan HIV
menggunakan strategi “ABCD”, yaitu:

·    A  (Abstinence), artinya Absen  seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah;
·    B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan);
·    C  (Condom), artinya cegah  penularan HIV  melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom;
·    D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan  narkoba

Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan primer antara lain:
1.    Menyebarluaskan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang HIV-AIDS dan Kesehatan Reproduksi, baik secara individu maupun kelompok, untuk:
a.    Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari penularan HIV
b.    dan IMS
c.    Menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV sedini mungkin
d.    Meningkatkan pengetahuan  petugas kesehatan  tentang  tatalaksana  ODHA
e.    perempuan
f.    Meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS

Sebaiknya, pesan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga disampaikan kepada remaja, sehingga mereka mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV.

Informasi tentang  pencegahan penularan HIV  dari ibu ke anak juga penting disampaikan kepada masyarakat luas sehingga dukungan masyarakat kepada ibu dengan HIV dan keluarganya semakin kuat.

2.    Mobilisasi masyarakat
a.    Melibatkan petugas  lapangan (seperti  kader kesehatan/PKK, PLKB, atau posyandu) sebagai  pemberi informasi pencegahan  HIV  dan  IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan
b.    Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril
c.    Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi

3.    Layanan tes HIV
Konseling dan tes  HIV  dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS), yang merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes  darah  dilakukan dengan memperhatikan 3  c  yaitu Counselling, Confidentiality, dan informed consent.

Jika status HIV ibu sudah diketahui,
a.    HIV positif: lakukan intervensi PPIA komprehensif  agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya
b.    HIV negatif: lakukan konseling tentang cara menjaga agar tetap HIV negatifLayanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA sesuai dengan strategi Layanan Komprehensif Berkesinambungan, agar:
1.    Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan ANC  terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV- AIDS;
2.    Layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau banyak ibu hamil, sehingga pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih awal dan sedini mungkin.
3.    Penyampaian informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua petugas di fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan Anc terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV-AIDS.
4.    Pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman Konseling dan Tes HIV; petugas wajib menawarkan  tes hIV  dan melakukan pemeriksaan  Ims, termasuk tes  sifilis, kepada semua ibu hamil mulai kunjungan antenatal pertama bersama dengan pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil (inklusif dalam paket pelayanan ANC terpadu).
5.    Tes HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu hamil yang dites (couple conselling);
6.    Di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA dalam paket pelayanan KIA, harus ada petugas yang mampu melakukan konseling dan tes HIV;
7.    Di layanan KIA, konseling  pasca tes bagi perempuan HIV negatif difokuskan pada informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya;
8.    Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan  konseling berpasangan dan penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki;
9.    Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin;
10.    Menjalankan konseling dan tes HIV  di klinik KIA  berarti mengintegrasikan juga program HIV-AIDS  dengan layanan lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan reproduksi, pemberian gizi tambahan, dan keluarga berencana;
11.    Upaya pengobatan  IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai bagian dari upaya pencegahan.

4.    Dukungan untuk perempuan yang HIV negatif
a.    Ibu hamil yang hasil tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya tetap HIV negatif;
b.    Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV;
c.    Membuat pelayanan KIA  yang bersahabat untuk pria, sehingga mudah dan dapat diakses oleh suami/pasangan ibu hamil;
d.    Mengadakan kegiatan konseling berpasangan pada saat kunjungan ke layanan KIA;
e.    Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil, dan mendorong dialog yang lebih terbuka antara suami dan istri/ pasangannya tentang perilaku seksual yang aman;
f.    Memberikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami bahwa dengan melakukan hubungan seksual yang tidak aman, dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya sendiri;
g.    Menyampaikan informasi kepada  pasangan  laki-laki atau  suami  tentang pentingnya memakai kondom untuk mencegah penularan HIV.

B.  Prong 2: Pencegahan Kehamilan Yang Tidak Direncanakan Pada Perempuan dengan HIV
Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi yang dikandungnya jika hamil.Karena itu, ODHA perempuan disarankan untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.  Konseling yang berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV  agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa  infeksi  HIV bukan merupakan indikasi aborsi.
o    Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan kontrasepsi yang sesuai dengan kondisinya dan disertai penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV dan IMS.
o    Perempuan dengan HIV  yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi disarankan untuk  menggunakan kontrasepsi mantap  dan  tetap  menggunakan kondom.

Kontrasepsi untuk perempuan yang terinfeksi  HIV:
•     Menunda kehamilan: kontrasepsi jangka panjang + kondom
•     Tidak mau punya anak lagi: kontrasepsi mantap + kondom

Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV dapat merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya tidak terinfeksi HIV. Petugas kesehatan harus memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, terkait kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak terinfeksi  HIV. Dalam konseling  perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIVyang belum terindikasi untuk terapi ARV bila memutuskan untuk hamil akan menerima ARV  seumur hidupnya. Jika  ibu sudah mendapatkan  terapi ArV,  jumlah  virus hIV di tubuhnya menjadi sangat rendah (tidak terdeteksi),  sehingga  risiko penularan hIV dari ibu ke anak menjadi kecil, Artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki anak HIV  negatif. Ibu dengan HIV  berhak menentukan keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu diingatkan walau ibu/pasangannya sudah mendapatkan ARV demikian penggunaan kondom harus tetap  dilakukan setiap  hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV  pada pasangannya.

Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV antara lain:
o    Mengadakan  KIE tentang HIV-AIDS dan perilaku seks aman;
o    Menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan;
o    Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS;
o    Melakukan promosi penggunaan kondom;
o    Memberikan  konseling  pada  perempuan  dengan  HIV  untuk  ikut  KB  dengan menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat;
o    Memberikan  konseling  dan  memfasilitasi  perempuan  dengan  HIV  yang  ingin  merencanakan kehamilan.

c.  Prong 3: Pencegahan   Penularan   HIV   dari   Ibu   Hamil dengan HIV ke Bayi yang Dikandungnya

Strategi pencegahan penularan HIV  pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV  ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif  mencakup kegiatan sebagai berikut:

1.   Layanan  ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;
2.   Diagnosis  HIV
3.   Pemberian terapi antiretroviral;
4.   Persalinan yang aman;
5.   Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;
6.   Menunda dan mengatur kehamilan;
7.   Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;
8.   Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.

Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut  merupakan strategi  yang paling efektif untuk  mengidentifikasi perempuan  yang terinfeksi HIV  serta  mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada periode kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran.
Pelayanan KIA  yang komprehensif meliputi pelayanan pra-, persalinan dan pasca- persalinan, serta layanan kesehatan anak. Pelayanan KIA bisa menjadi pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak bagi seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke klinik KIA akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan HIV di antara mereka, termasuk risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak. Tes HIV atas inisiatif petugas serta skrining IMS harus ditawarkan kepada semua ibu hamil sesuai kebijakan program.Harapannya, dengan kesadaran sendiri ibu maudites dengan sukarela.Konseling dan  tes  HIV  dalam PPIA komprehensif dilakukan melalui pendekatan konseling dan tes atas Inisiasi Petugas kesehatan (KTIP), yang merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV  dari ibu ke anak. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang, seperti pada saat pemberian ARV.Apabila seseorang yang datang ke layanan kesehatan dan menunjukan adanya gejala yang mengarah ke HIV, tanggung jawab dasar dari petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling  HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis.

Berbagai bentuk layanan di klinik KIA, seperti imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi dapat meningkatkan status kesehatan semua  ibu  hamil,  termasuk ibu  hamil dengan  HIV. Hendaknya klinik KIA  juga menjangkau dan melayani suami atau pasangannya, sehingga timbul keterlibatan aktif para suami/ pasangannya dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Upaya pencegahan IMS, termasuk penggunaan kondom, merupakan bagian pelayanan IMS dan HIV serta diintegrasikan dalam pelayanan KIA.

1.  Layanan Anc Terpadu Termasuk Penawaran dan Tes HIV
Pelayanan tes HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu hamil untuk mengetahui status  HIV, sehingga dapat  melakukan upaya untuk mencegah penularan HIV  ke bayinya,memperoleh pengobatan ARV sedini mungkin, dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS.

2.  Diagnosis DIV
Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV  dapat  dilakukan secara  virologis (mendeteksi antigen DNA  atau  RNA)  dan  serologis (mendeteksi antibodi HIV)  pada  spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV  yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen yang memenuhi kriteria sensitivitas dan  spesifitas.  Hasil pemeriksaan dinyatakan reaktif jika hasil tes  dengan reagen 1  (A1), reagen 2  (A2), dan  reagen 3  (A3) ketiganya positif (Strategi 3). Pemilihan jenis reagen yang digunakan berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas, merujuk pada Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan   Pemeriksa  HIV    dan   Infeksi  Oportunistik,  Kementerian  Kesehatan (SK Menkes No. 241 tahun 2006).
Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes diagnostik HIV  dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14  hari setelah yang pertama dan setidaknya tes ulang menjelang persalinan (32-36 minggu).

3.  Pemberian terapi Antiretroviral

Sampai sekarang belum ada  obat  yang dapat  menyembuhkan HIV-AIDS,  namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di dalam tubuh dapat ditekan sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat.

Terapi  ARV bertujuan untuk:

•     Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat,
•     Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV,
•     Memperbaiki kualitas hidup ODHA,
•     Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh, dan
•     Menekan replikasi virus secara maksimal.

Cara paling efektif untuk menekan replikasi hIV adalah dengan memulai pengobatan dengan kombinasi ArV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien baru.Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat.Obat ARV harus diminum terus menerus secara teratur untuk menghindari timbulnya resistensi.Diperlukan peran serta aktif pasien dan pendamping/ keluarga dalam terapi ARV.  Di samping ARV,  timbulnya infeksi oportunistik harus mendapat perhatian dan tatalaksana yang sesuai.

Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011).Penentuan saat yang tepat untuk memulai terapi obat antiretroviral (ARV) pada ODHA dewasa didasarkan pada kondisi klinis pasien (stadium klinis WHO) atau hasil pemeriksaan CD4.Namun pada ibu hamil, pasien TB dan penderita Hepatitis B kronik aktif yang terinfeksi HIV, pengobatan ARV dapat dimulai pada stadium klinis apapun atau tanpa menunggu hasil pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 tetap  diperlukan untuk pemantauan pengobatan.
Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin.
Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV  adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin hindari triple nuke (3 NRTI). Regimen yang direkomendasikan  dapat dilihat pada Tabel 4.
Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ArV  kepada ibu selama hamil dan dilanjutkan selama menyusui  adalah  intervensi  PPIA yang paling  efektif untuk kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi.
Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011).Pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi klinis ibu (lihat Tabel 5) dan mengikuti ketentuan sebagai berikut:
o    Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV.
o    Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum hamilan, dan pasien sudah mendapatkan Art, maka saat hamil ART tetap diteruskan dengan regimen yang sama seperti saat sebelum hamil.
o    Untuk ibu hamil yang status  HIV-nya  diketahui sebelum umur kehamilannya 14 minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART. Namun jika tidak ada indikasi, pemberian ART ditunggu hingga umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
o    Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan ≥ 14 minggu, segera diberikan ART berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
o    Untuk ibu hamil yang status  HIV-nya  diketahui sesaat menjelang  persalinan, segera diberikan ART  sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan kombinasi regimen ART sama dengan ibu hamil yang lain.


1.    Persalinan aman

Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling lengkap tentang  pilihan persalinan,  risiko penularan,  dan  berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam dan per abdominam (bedah sesar atau seksio sesarea).
Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV  dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV  yang sekurangnya dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam merupakan persalinan yang aman. Apabila tersedia fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load < 1.000 kopi/µL, persalinan per vaginam aman untuk dilakukan.
Persalinan bedah  sesar  hanya boleh didasarkan atas  indikasi obstetrik atau  jika pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih, sehingga diperkirakan viral load > 1.000 kopi/µL.
Beberapa  hasil  penelitian  menyimpulkan bahwa  bedah  sesar  akan  mengurangi risiko penularan  HIV   dari  ibu  ke  bayi hingga sebesar  2%–  4%,  namun  perlu dipertimbangkan:
a.    Faktor keamanan ibu pasca bedah sesar. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa komplikasi minor dari operasi bedah sesar seperti endometritis, infeksi luka dan infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada ODHA dibandingkan non-ODHA. Namun tidak terdapat  perbedaan  bermakna antara  ODHA  dan  bukan  ODHA terhadap  risiko terjadinya komplikasi mayor seperti  pneumonia, efusi  pleura ataupun sepsis.
b.    Fasilitas pelayanan kesehatan dan akses ke pelayanan kesehatan, apakah memungkinkan untuk dilakukan bedah sesar atau tidak.
c.    Biaya bedah sesar yang relatif mahal.

Dengan demikian, untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu hamil dengan HIV direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini:
o    Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus memperhatikan kondisi fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Infeksi  HIV bukan merupakan indikasi untuk bedah sesar.
o    Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar).
o    Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam maupun bedah sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang berlaku untuk semua jenis persalinan dan tindakan medis.

Proses persalinan aman selain untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anaknya, juga  mencakup  keamanan  bekerja  bagi  tenaga  kesehatan  penolong persalinan (bidan dan dokter). Risiko penularan HIV akibat tertusuk jarum suntik sangat kecil (<0,3%). Petugas yang mengalami pajanan HIV di tempat kerja dapat menerima terapi antiretroviral (ARV) untuk Pencegahan Pasca Pajanan (PPP atau PEP, post exposure prophylaxis).

Beberapa hal tentang PPP:
•    Waktu yang terbaik adalah diberikan kurang dari 4 jam dan maksimal dalam 48-72 jam setelah kejadian.
•    Paduan yang dianjurkan adalah AZt + 3tc + eFV atau AZt + 3tc + lPV/r (Lopinavir/ Ritonavir).
•    Nevirapine  (NVP) tidak digunakan untuk PPP.
•    ARV untuk PEP diberikan selama 1 bulan.
•    Perlu dilakukan tes HIV sebelum memulai PPP.
•    ARV  tidak diberikan untuk tujuan PPP jika tes HIV  menunjukkan hasil reaktif (karena berarti yang terpajan sudah HIV positif  sebelum kejadian); pada kasus ini, pemberian ARV mengikuti kriteria terapi ARV pada dewasa.
•    Perlu dilakukan pemantauan efek samping dari obat ARV yang  diminum.
•    Perlu dilakukan tes HIV ulangan pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP.

Pada kasus kecelakaan kerja pada petugas yang menderita hepatitis B maka PPP yang digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mencegah terjadinya hepatic flare.

5.  tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak

Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko penularan HIV   melalui ASI. Konseling diberikan sejak  perawatan antenatal  atau  sebelum persalinan.


Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat informasi secara lengkap.Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung.

Ibu dengan HIV  yang sudah dalam terapi ARV  memiliki kadar HIV  sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman HIV  dan Infant Feeding (2010), World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian AsI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan hidup  anak  (HIV-free  and  child  survival). Eksklusif artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed feeding). Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan, disertai dengan pemberian makanan padat.

Beberapa  studi  menunjukkan pemberian  susu  formula memiliki risiko minimal untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula diyakini sebagai cara pemberian makanan yang paling aman. Namun, penyediaan dan pemberian susu formula memerlukan akses ketersediaan air bersih dan botol susu yang bersih, yang di banyak negara berkembang dan beberapa daerah di Indonesia persyaratan tersebut sulit dijalankan. Selain itu, keterbatasan kemampuan keluarga di Indonesia untuk membeli susu formula dan adanya norma sosial tertentu di masyarakat mengharuskan ibu menyusui bayinya.

Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (mixed feeding, artinya diberikan ASI dan PASI bergantian). Pemberian susu formula yang bagi dinding usus bayi merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus, sehingga mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah.

Beberapa  studi  menunjukkan pemberian  susu  formula memiliki risiko minimal untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula diyakini sebagai cara pemberian makanan yang paling aman. Namun, penyediaan dan pemberian susu formula memerlukan akses ketersediaan air bersih dan botol susu yang bersih, yang di banyak negara berkembang dan beberapa daerah di Indonesia persyaratan tersebut sulit dijalankan. Selain itu, keterbatasan kemampuan keluarga di Indonesia untuk membeli susu formula dan adanya norma sosial tertentu di masyarakat mengharuskan ibu menyusui bayinya.

Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (mixed feeding, artinya diberikan ASI dan PASI bergantian). Pemberian susu formula yang bagi dinding usus bayi merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus, sehingga mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah.
Ibu hamil dengan HIV  perlu mendapatkan informasi dan edukasi untuk membantu mereka membuat  keputusan  apakah  ingin memberikan ASI eksklusif atau  susu formula kepada bayinya. Mereka butuh bantuan untuk menilai dan menimbang risiko penularan HIV ke bayinya. Mereka butuh dukungan agar merasa percaya diri dengan keputusannya dan  dibimbing bagaimana  memberi makanan  ke  bayinya seaman mungkin. Agar mampu melakukan hal itu, tenaga kesehatan perlu dibekali pelatihan tentang informasi dasar HIV dan pemberian makanan untuk bayi.

Rekomendasi untuk  pemberian  informasi dan  edukasi,  baik  tentang  pemberian makanan bayi dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak maupun pemeliharaan kesehatan anak secara umum adalah sebagai berikut:

a.  Ibu hamil dengan HIV  perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menyusui atau memberikan susu formula. Dengan adanya komunikasi dengan si ibu, petugas dapat menggali informasi kondisi rumah ibu dan situasi keluarganya, sehingga bisa membantu ibu untuk menentukan pilihan pemberian makanan pada bayi yang paling tepat.
b.   Petugas harus memberikan penjelasan tentang manfaat dan risiko menyusui untuk kelangsungan hidup bayi/anak, serta pentingnya terapi ART sebagai kunci upaya mencegah penularan HIV dari ibu ke anaknya. Bayi yang diberi ASI dari ibu yang sudah dalam terapi ARV dan minum obatnya secara teratur, memiliki risiko sangat kecil untuk menularkan HIV, karena jumlah virus dalam tubuhnya jauh berkurang. Pemberian susu  pengganti ASI yang tidak  higienis berpotensi menimbulkan penyakit infeksi lain yang mungkin mengancam kelangsungan hidup bayi.
c.   Petugas harus dapat mendemonstrasikan bagaimana praktek pemberian makanan pada bayi yang dipilih dan memberikan brosur atau materi KIE yang bisa dibawa pulang.
d.   Petugas perlu memberikan konseling dan dukungan lanjutan.
e.   Saat kunjungan pasca persalinan, petugas kesehatan dapat melakukan:
•     Monitoring pengobatan ARV ibu dan profilaksis ARV bayi;
•     Monitoring tumbuh kembang bayi;
•     Memberikan imunisasi bayi sesuai dengan jadwal imunisasi dasar, kecuali bila
ada tanda-tanda infeksi oportunistik;
•     Memberikan obat kotrimoksazol pada bayi untuk mencegah timbulnya infeksi
lain mulai pada usia 6 minggu;
•     Memeriksa tanda-tanda infeksi termasuk infeksi oportunistik;
•     Memeriksa praktik pemberian makanan pada bayi dan apakah ada perubahan
yang diinginkan;
•     Mendiskusikan  pemberian  makanan  selanjutnya  setelah  ASI  untuk  bayi  usia
6 – 12 bulan.


6.  mengatur kehamilan dan keluarga Berencana

Seperti telah disebutkan pada Prong 2, semua jenis kontrasepsi yang dipilih oleh ibu dengan HIV harus selalu disertai penggunaan kondom untuk mencegah IMS dan HIV.

Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif:
•     Ibu  yang  ingin  menunda  atau  mengatur  kehamilan,  dapat  menggunakan
kontrasepsi jangka panjang.
•     Ibu  yang  memutuskan  tidak  punya  anak  lagi,  dapat  memilih  kontrasepsi
mantap.

7.  Pemberian profilaksis ArV dan kotrimoksazol pada anak

Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir selama 6 minggu. Obat ARV  yang diberikan adalah zidovudine  (AZT atau ZDV) 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari.

Selanjutnya anak  dapat  diberikan kotrimoksazol  profilaksis mulai usia  6  minggu dengan dosis4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV ditegakkan.

8.  Pemeriksaan diagnostik hIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan hIV

Penularan HIV pada anak dapat terjadi selama masa kehamilan, saat persalinan, dan menyusui.Antibodi  HIV dari ibu dapat berpindah ke bayi melalui plasenta selama kehamilan berada pada darah bayi/anak hingga usia 18 bulan. Penentuan status HIV pada bayi/anak (usia <18  bulan) dari ibu HIV  tidak dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan diagnosis HIV (tes antibodi) biasa. Pemeriksaan serologis anti-HIV dan pemeriksaan virologis  HIV RNA (PCR) dilakukan setelah usia 18  bulan atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasilnya positif, maka harus diulang setelah usia 18 bulan.

Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR),  saat ini sudah ada di Indonesia dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak usia di bawah 18 bulan. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan minimal 2 kali dan dapat dimulai ketika bayi berusia 4-6 minggu dan perlu diulang 4 minggu kemudian.Pemeriksaan HIV DNA (PCR) adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus atau partikel virus dalam tubuh bayi dan saat ini sedang dikembangkan di Indonesia untuk diagnosis dini HIV pada bayi (early infant diagnosis, EID).


Untuk pemeriksaan diagnosis dini HIV pada bayi ini, Kementerian Kesehatan sedang mengembangkan laboratorium rujukan nasional (saat ini di Rumah Sakit Dharmais) dan kedepannya beberapa laboratorium rujukan regional (termasuk di BLK Provinsi Papua). Spesimen darah anak yang akan diperiksa dapat dikirimkan berupa tetes darah kering (dry blood spot, DBS) ke laboratorium tersebut. Dengan pemeriksaan tersebut, diagnosis HIV pada anak dapat ditegakkan sedini mungkin.

d. Prong 4: PemBerIAn  dukungAn  PsIkologIs,  sosIAl  dAn PerAwAtAn kePAdA IBu dengAn hIV BesertA AnAk dAn keluArgAnyA

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan  diskriminasi masyarakat terhadap  ODHA.  Faktor kerahasiaan status HIV ibu sangat penting dijaga.Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya.

Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu dengan HIV antara lain:
•     Pengobatan ARV jangka panjang
•     Pengobatan gejala penyakitnya
•     Pemeriksaan  kondisi  kesehatan  dan  pemantauan  terapi  ARV  (termasuk  CD4
dan viral load)
•     Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
•     Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi
•   Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.
•     Penyuluhan   kepada   anggota   keluarga   tentang   cara   penularan   HIV   dan
pencegahannya
•     Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
•     Kunjungan ke rumah (home visit)
•     Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV
•     Adanya pendamping saat sedang dirawat
•     Dukungan dari pasangan
•     Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
•     Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak

Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, serta  berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.

0 komentar:

Post a Comment